Minggu, 25 November 2012

If I (Almost) Failed

Sometimes I feel like I want to give up. Not to give up on you, but this situation.
The distance starts to kill me. I'm tired. It's getting worse when you're busy, mm, I mean when you are in the peak of your busy period. I know that's for your own good or maybe ours, I know dear.. But, ya.. I miss you.. I keep on trying to be patient. It's getting hard. You know that I can't smile without your 'presence' and your absence is a trigger of my impatience. Hmm.. I want to skip this time, I want to skip this November and December. But I just can't. I can't buy a time machine. I can't do some kind of magic. Huuffttt.. Well, let me pray.. Pray for our own sake. Pray for us, a better situation.

Dear, when I (almost) failed to control my emotion or I (almost) lose my patience, I read this..


Senin, 19 November 2012

The Choosen One

Banyak hal berputar-putar saja di pikiran saya saat ini. Kondisi ini berlangsung sejak saya menjadi invisible follower sebuah akun twitter berlabel @sahabatalaqsha. Akun ini melaporkan dan mendiskusikan kejadian-kejadian yang sedang atau telah berlangsung di Gaza, Palestina. Gaza, sebuah daerah konflik yang diperebutkan oleh dua anak keturunan Adam, Palestina dan Israel.

Sedih, miris dan malu. Itulah perasaan yang saya rasakan setiap membaca sebuah berita atau melihat foto-foto terbaru terkait keadaan di Gaza. Orang tua, orang muda, laki-laki, perempuan bahkan anak-anak balita menjadi korban dari perang berkepanjangan. Suatu malam saya berandai-andai, bagaimana seandainya tiba-tiba saya berada di Gaza... Kemungkinan terbesar yang terjadi adalah munculnya gejala-gejala gangguan jiwa yang akhirnya akan ditegakkan sebagai depresi. Bagaimana tidak? Gaza saat ini mengalami mati listrik dengan suara bom sebagai lagu nina-bobo menjelang tidur. Suara ambulans sudah seperti suara jangkrik yang menghiasi kesyahduan malam. Percikan api sisa-sisa ledakan bagaikan kembang api yang menyala riang pada suatu perayaan. Oh.. Ya Allah. Bagaimana saya bisa tenang? Depresi disusul anxiety disorder, disusul paranoid, dan disertai mood disorder, ya, hal-hal itu yang sangat mungkin terjadi jika saya tiba-tiba ada di Gaza.

Kenyataannya berbeda. Mereka, saudara-saudari warga Palestina yang berada di Gaza tetap tegar. Mereka bersabar, mereka berikhtiar, mereka berdoa dan tetap beriman. Kondisi ini mereka terima dengan suatu pemahaman, "Jika perang ini adalah kehendak Allah, inilah jalan terbaik bagi kami". Oh Ya Allah... SUPER! Kadar keimanan yang mereka miliki ini sudah jauh dari jangkauan logika saya. Mereka mungkin adalah kaum yang sudah mengilhami, "Dunia ini hanyalah batu pijakan untuk ke akhirat, bukannya rumah". OHHH! Speechless. Subhanallah.. Mereka yang bertahan di Gaza adalah kaum yang dipercaya. Kaum yang dipercaya Allah untuk berjihad melalui jalan takdirnya.

Ya, setiap manusia terlahir membawa takdir mereka sendiri. Manusia juga terlahir dengan membawa jalan jihad mereka sendiri. Kadar 'perang' yang dimiliki tentunya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga pada dasarnya setiap manusia akan mampu memenanginya. Allah tidak akan menimpakan suatu masalah diluar batas kemampuan umat-Nya, jadi pada dasarnya, setiap manusia pasti mampu. Kemampuan manusia ini pun bersifat subjektif, tergantung kapasitas yang telah diberikan Allah pada mereka. Menurut saya, saudara-saudari yang terlahir di Gaza merupakan manusia-manusia pilihan Allah yang sudah dipercaya untuk melakukan jihad melalui jalan 'perang' suci ini. Mereka adalah kaum yang terpilih untuk menjaga dan membuktikan Janji Allah. Mereka yang gagah berani mempertahankan Al-Aqsha, yang memegang kepercayaan Allah yang kemudian dinyatakan mati syahid, insyaAllah sudah memiliki rumah megah di surga milik Allah. Subhanallah.. Perang di Gaza tidak lain merupakan jalan yang meninggikan derajat ketaqwaan saudara-saudari kita. Saya percaya. Sama percayanya bahwa bukan hal yang sulit bagi Allah untuk menghentikan perang Israel-Palestina dalam satu kedipan mata. Sungguh, menghentikan perang sangatlah mudah jika Allah sudah berkehendak.

Ya Allah, Engkau adalah sebaik-baik pelindung bagi umat-Mu, hamba mohon, lindungilah saudara-saudari di Palestina dengan cara-Mu. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang telah Engkau pilih untuk mengemban amanah-Mu. 

Al-Fatiha...
#PrayForGaza

Kamis, 15 November 2012

Keep Calm And Remain Faithful

Miles apart...
You are there and I am here...
But I always believe that My God is going to make it okay...

Love will not betray us, dismay us, or enslave us...
We just have to keep calm and remain faithful...

I LOVE YOU AS ALWAYS





Selasa, 30 Oktober 2012

Guru TK

Hehehehehahahahhaaa.. 

Sebuah predikat, sebuah pekerjaan, sebuah tanggung jawab, sebuah hobi, dan sebuah jalan untuk beribadah. Guru TK. Yak. Hahahaa...

Entah kenapa ya, kata 'Guru TK' ini belum begitu terasa sebagai sebuah 'pekerjaan' untuk saya. Saya memiliki tanggung jawab dan saya diberi bayaran untuk hal-hal yang saya kerjakan. Saya juga harus bangun pagi setiap hari selama 6 hari dalam satu minggu, sampai di suatu lokasi bernama sekolah sebelum pukul 07.00 WIB (seringnya sih lebih yaa..) dan saya juga pulang pada pukul 16.00 WIB (kadang-kadang sih lebih..). Definisi sebelumnya sebenernya sudah cukup membuat 'Guru TK' ini sebagai pekerjaan, tapi nyatanya tidak (setidaknya untuk saya) begitu.

Saya jadi bertanya-tanya, apa yang saya pikirkan saat seseorang berkata, "Kamu Guru TK, ya?" Hmm.. Saya hanya merasa seperti ini: setiap hari bangun pagi dan itu cukup berat untuk dibiasakan, menyiapkan bekal makan pagi, pergi ke sebuah gedung dengan cat tembok warna-warni, menyanyi, menari, tertawa, mengajari menulis, mengajari mewarnai, mengajari berbicara dengan baik, menemani sekelompok anak saat berenang, menemani sekelompok anak saat makan, memandikan sekelompok anak secara bersamaan, memakaikan pakaian sekaligus melatih mereka untuk memakai pakaian mereka sendiri, yahhhh sesekali menemani anak saat pup atau pipis, dan pada suatu ketika di saat keberuntungan sedang berada dalam wujud yang kurang menyenangkan, saya harus membereskan muntahan anak, membereskan ompol seorang anak, atau membereskan pup seorang anak. Deskripsi tersebut memaksa saya untuk lebih merasa sebagai seorang wanita muda yang sedang berlatih menjadi ibu ketimbang sebagai seorang wanita muda yang bekerja sebagai Guru TK. Yak, saya sengaja mencetak tebal dua buah kata untuk menegaskan bahwa saya wanita muda. Hahaha..

Saya merasa lucu atau mungkin sebenarnya perasaan ini adalah suatu bentuk kebahagiaan, ketika saya menyadari bahwa saya adalah Guru TK. Begini, hampir semua orang yang mengenal saya tahu, bahwa cita-cita saya adalah menjadi Guru TK. Sejak saya TK, saya ingin menjadi Guru TK, yaa, walaupun seiring bertambahnya kerumitan pola pikir, cita-cita itu juga ikut berubah menjadi 'ingin menjadi pemilik dan pengelola sebuah TK'. Saya yakin, Tuhan saya Yang Maha Pengertian sedang memberikan pelajaran-pelajaran penting mulai dari hal-hal yang mendasar. Nah, apda kesempatan kali ini, saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman saya sebagai wanita muda yang sedang belajar menjadi seorang ibu sekaligus sebagai wanita muda yang diberi predikat 'Guru TK'. Here we go~

Pada mulanya, saya memiliki bekal persepsi bahwa masa kanak-kanak adalah suatu fase paling menyenangkan pada masa pertumbuhan manusia. Anak-anak adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini. Menyanyi, menari, mewarnai, dan tertawa-tertiwi, itu dunia mereka. Saya cukup ceroboh untuk tidak menambahkan suatu skema bahwa anak-anak bisa mengompol, anak-anak bisa pup dan bahkan pup di celana, anak-anak mudah muntah kalau terlalu kenyang, dan anak-anak itu mood. Saya cukup shock ketika saya berhadapan langsung dengan hal-hal tersebut. Biasanya hal-hal tersebut menular pada saya, saya ikut muntah ketika harus membereskan muntahan seorang anak dan 'membereskan' seorang anak yang pup di celana. Haha.. Ternyata saya belum cukup terampil untuk menjadi seorang ibu. Saya masih terjijik-jijik kalau dihadapkan dengan hal-hal seperti di atas.

Mungkin sebagian besar orang akan merasa "ngga banget lhooo ngebersihin pipis atau pup atau muntahan anak orang", tetapi sebenarnya, kesenangan dan kelucuan dibalik rasa-rasa yang kurang lucu dan kurang menyenangkan itu sangaaaaaaaaatttttt banyak dan sangat besar. Bayangkan saja, setiap hari seusai jam sekolah (Pkl. 14.00, sampai semua anak pulang -- FYI: saya memegang dua kelas, pagi 07.00 - 10.00 dan siang 10.30 - Pkl 14.30) saya memiliki bertumpuk-tumpuk kelucuan anak yang siap untuk dijadikan bahan kebahagiaan. Jumlah kelucuan itu sekitar kepolosan anak-anak selama 3 jam berada di kelas dikalikan dengan 20 anak/ kelas. banyak! Saya memiliki banyak banyak banyak banyak stock bahan dasar yang dapat diolah sehingga menghasilkan tawa. Selain stock kelucuan-kelucuan anak-anak, saya juga sering mendapatkan hal-hal yang dapat saya ambil pelajarannya. Banyak hikmah kehidupan yang saya pelajari dari kehidupan anak-anak lucu itu. Mungkin cerita-cerita tertentu akan saya tuliskan di kempatan yang lain. Yahhhh, saya baru saja teringat bahwa saya membawa lembar evaluasi harian dan setumpuk worksheet anak-anak yang sebenarnya bisa dikerjakan besok setelah Pkl 15.00 tapi saya sedang memiliki niat tulus suci agak memaksa diri untuk membawanya pulang dan mengerjakan di rumah. Hohooo..

Pembaca (anggap aja ada yang baca ya..), menjadi 'Guru TK' itu bukan soal mengajarkan sesuatu pada anak-anak TK, menjadi Guru TK itu lebih kepada mewarnai hari-hari di sekeliling anak-anak usia TK. Guru dan murid selalu saling memberikan pelajaran di setiap kesempatan yang ada. Menjadi Guru TK itu (insyaAllah) BAHAGIA! ;)



Senin, 10 September 2012

Air Mata

Sering kali air mata adalah satu-satunya teman yang tidak mau diajak berkompromi.
Mengalir dengan deras sekehendaknya sendiri.

Kedatangannya adalah kejutan besar untukku. Setelah enam kali berganti bulan, hatiku kering karena isinya mulai terserap rindu. Tak jarang aku bersujud lebih lama untuk berdoa pada-Nya, Sang Penguasa Kalbu.

Bagaikan orang yang telah lama hidup tanpa cahaya, dia adalah matahariku. Memberi banyak cahaya dan membiaskan warna pelangi yang menghiasi hari-hariku.

Melihatnya setelah lama buta membuatku ingin menangis di bandara. Hari ini, lima hari sebelum ia pergi ke negeri Gandhi, aku menangis karena harus melepasnya pergi sebuah kota lainnya.

Air mata tidak pernah berkata-kata, mengalir begitu saja. Layaknya kasih sayang dan cinta.

Minggu, 12 Agustus 2012

Puasa

Apakah arti puasa? Puasa menahan lapar, puasa menahan haus, dan menjaga prilaku..

Sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan oleh Tasya ini membuat saya berpikir. Puasa tampak sangat mudah dijalani, menahan haus, menahan lapar, dan berperilaku baik. Lalu, kalau semudah itu, mengapa Allah memberikan pahala yang besar bagi orang yang berpuasa ya?

Saya teringat, hewan yang paling buas adalah hewan yang kehausan dan kelaparan, begitu juga manusia. Manusia yang mudah berperilaku buruk dan mudah kehilangan kontrol diri adalah manusia yang lapar dan haus. hal ini menjadikan makan dan minum sebagai kebutuhan utama manusia. Manusia yang kenyang mampu berpikir secara optimal. Manusia yang kenyang lebih mudah mengontrol perasaan. Manusia yang kenyang memiliki tenaga untuk beribadah. Oleh karena itu, penghilangan rasa kenyang akan mempersulit manusia untuk memunculkan sifat-sifat terbaik dari dirinya.

Secara psikologis, hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Teori Motivasi dari Maslow. Makan dan minum merupakan kebutuhan fisik yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan fisik ini merupakan dasar anak tangga untuk memenuhi kebutuhan lain yang dimiliki manusia.

Manusia yang lapar dan haus akan menemui kesulitan yang lebih besar daripada manusia yang kenyang. Manusia yang haus dan lapar memiliki tantangan mendasar supaya tetap dapat berperilaku baik, supaya dapat mengontrol diri dengan baik, supaya tetap dapat beribadah dengan baik dan supaya tetap mampu mengaktualisasikan dirinya. Inilah ujian puasa sebenarnya, ketika manusia berada dalam kondisi di mana kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi, mampukah manusia tetap bersabar, tetap berbagi, tetap beribadah, tetap bekerja, dan tetap mengingat Allah? Maka tidak mengherankan jika manusia yang beruntung adalah manusia yang mampu melewati bulan Ramadhan dengan baik, manusia yang tetap mampu mengendalikan diri serta mengaktualisasikan diri ketika kebutuhan dasar pun belum terpenuhi. Itulah manusia yang akan mendapatkan kemenangan di hari raya Idul Fitri. Manusia-manusia yang mendapatkan berkah ramadhan adalah manusia yang mampu menaklukkan rasa lapar dan dahaga serta tetap berperilaku baik.


Rabu, 16 Mei 2012

Anak-anak di India

Semua orang dewasa di dunia ini pernah menjadi seorang anak kecil. Tidak perduli dari mana asalnya, semua orang dewasa pasti pernah menjadi anak-anak.

Ini adalah hari ke-11 saya menjadi trainee di sebuah sekolah di kota Jogjakarta. Jadwal trainee hari ini menempatkan saya untuk belajar di lapangan, yaitu Red Class. Red class adalah sebuah kelas di tingkat pre-school untuk anak usia 2 - 3 tahun dan 1 - 2 tahun (Red-baby). Hari ini adalah kelas Red untuk anak usia 2 - 3 tahun. Pada setiap harinya terdapat dua kelas Red yang diselenggarakan. Kelas pagi dan kelas siang. Jumlah rata-rata siswa adalah 20 anak.

Luapan rasa senang memenuhi hati saya. Melihat anak-anak dengan mata bulat memandang saya ketika saya diminta berkenalan. Dengan serempak mereka mengulangi perkataan guru kelasnya, "Good morning, Miss. What is your name?" Manis. Beberapa anak yang tampak cukup berani langsung mendekat, memandangi saya ketika saya mulai berbicara. Ternyata ada satu hal yang menarik perhatian mereka. Kawat gigi saya. Ya, power chain saya kali ini berwarna Pink Neon. Bukan warna yang tepat.

Hari ini adalah hari untuk assessment materi 'shapes'. Guru kelas meminta saya untuk mengawasi anak-anak bermain sementara satu per satu dari mereka akan dipanggil oleh guru. Saat itu, anak-anak yang berani mulai mendekat dan bercerita tentang hal-hal yang menarik bagi mereka. Ada seorang anak perempuan keturunan China yang memiliki mata bulat yang berkata pada saya, "Miss, nanti aku mau kasi liat ke mama. Aku mau kasih liat Miss yang balu.." Lucu dan polos, Ching-ching panggilannya.

Di kelas siang, anak-anak yang menjadi peserta kelas red lebih beragam. Ada Bebe si bule berkulit putih, seorang anak keturunan bangsa Afrika yang tidak pernah berbicara, sebagian anak keturunan China, anak-anak keturunan masyarakat lokal (Indonesia) dan seorang anak yang menarik perhatian saya, Juhi, anak perempuan keturunan India.

Juhi. Badannya kecil, tinggi dan langsing. Rambutnya panjang, matanya bulat, berbulu mata lebat dan lentik, alis mata tebal, bibir mungil, menggunakan dua buah gelang tangan, dan sebuah gelang kaki. Juhi fasih berbahasa Indonesia dan sangat suka menyanyikan lagu 'Twinkle-twinkle Little Star'. Dia yang saya tanya , "Can you speak Hindi?" dan menjawab, "Ngga bisa, Miss".

Saat melihat Juhi, saya teringat anak-anak India lainnya yang saya temui saat saya pergi ke India. Saya tidak memperhatikan prosentasenya, tetapi dapat saya katakan, saya melihat banyak anak di India, khususnya di New Delhi dan daerah sepanjang jalan menuju Agra yang bekerja. Beberapa anak saya lihat bekerja menjajakan chai (teh susu ala India), ada juga beberapa anak yang menjajakan permen karet, dan beberapa lainnya saya lihat mereka sedang bekerja memindahkan pasir dari satu ke tempat lain dengan mengankatnya di kepala. Saat saya tanyakan kepada pacar saya, dia bercerita bahwa hal itu adalah hal yang umum terjadi di India. Jika dibandingkan dengan kondisi anak-anak di Indonesia, khususnya Jogjakarta, kondisi anak-anak di India lebih buruk. Mereka mengenakan pakaian lusuh, wajah mereka tampak lebih kotor, mata mereka juga menyiratkan rasa lelah yang seharusnya belum dirasakan oleh anak seusia mereka.

Saya tidak berbicara data, saya hanya berbicara rasa. Menurut saya, tidak semestinya anak-anak usia di bawah umur merasakan  apa yang dirasakan oleh anak-anak India. Usia mereka semestinya dihabiskan untuk bermain dan belajar. Makanan yang sehat, tempat tinggal dan pakaian yang layak serta pendidikan yang baik adalah hal-hal yang semestinya mereka dapatkan. Ibarat tanaman, mereka adalah tunas muda yang dipaksa berbuah. Sekali lagi alasannya adalah kemiskinan. Pendidikan dirasa mahal, kemungkinan pola pikir yang terjadi adalah, "Daripada sudah bersekolah tidak juga mendapatkan pekerjaan yang baik, lebih baik bekerja saja semenjak anak masih kecil". Kalau sudah begitu, idealisme tentang perkembangan anak akan sangat mudah dipatahkan. Langkah solutif berupa pendidikan gratis atau pendidikan murah ternyata belum berhasil secara mutlak. Kemungkinan mereka berpikir, "Daripada waktunya dihabiskan untuk bersekolah, lebih baik bekerja menghasilkan uang. Ya, kemiskinan. Kemiskinan membuat seseorang sulit berpikir panjang. Mereka sulit untuk berinvestasi di masa depan karena mereka sendiri masih harus berjuang untuk hidup di masa sekarang. Korbannya adalah anak. Anak dijadikan 'tenaga' tambahan untuk menghasilkan uang.

Sekelumit cerita lain tentang anak di India yang berkaitan dengan kemiskinan adalah perbandingan jumlah anak laki-laki dengan anak perempuan yang ternyata lebih banyak anak laki-laki. Hal ini bukan karena kemiskinan mampu menyebabkan angka bayi laki-laki yang lahir sangat tinggi, namun konon katanya, bayi perempuan yang lahir di keluarga yang kurang mampu, terpaksa 'tidak dilanjutkan' kehidupannya. Miris.
Adat di India membuat anak perempuan yang hendak menikah mengeluarkan biaya yang sangat besar, untuk mas kawin dan lain-lain. Oleh karena itu, sebuah keluarga yang tidak mampu lebih memilih kelangsungan hidup anak laki-laki daripada kelangsungan hidup anak perempuan.

India adalah negara yang cukup kontradiktif (menurut saya). Orang kaya bersanding dengan orang miskin, daerah kumuh terpapar di hadapan kawasan pertokoan. India. Sebuah negara berkembang yang unik. banyak cerita berkaitan kehidupan sosial yang mampu mengkayakan hati saya.

Juhi, entah dia pernah menginjakkan kaki di India atau belum, dia adalah anak keturunan India yang beruntung. Bersekolah di sekolah yang cukup mahal, mengenakan pakaian yang layak dan sebagai anak perempuan, ia masih hidup. Juhi, bersyukurlah.

Minggu, 13 Mei 2012

Fakta Baru Tentang Cinta (ku)

Seseorang yang tidak dikenal berkata: 
Love will always find a way.

Inilah fakta tentang sesuatu hal abstrak bernama cinta. Cinta mengikuti perkembangan zaman, cinta berevolusi mengikuti perkembangan suatu masa. Cinta di jaman sekarang cukup kreatif, ketika tidak bisa bertemu muka, ia memanfaatkan teknologi yang ada. Cinta juga mampu bertahan dalam segala cuaca. Cinta tidak mengenal perbedaan waktu Indonesia dengan India. Seperti semut yang mengetahui letak gula, cinta dapat menemukan sepasang manusia yang menjadi targetnya. Itu lah cinta, sebuah rasa yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Cinta adalah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tidak dapat ditolak meskipun terhalang batas negara. Cinta, dia yang mempertemukan dua hati manusia.

Satu tahun berlalu, cinta tetap menggebu. Perbedaan tempat dan waktu tidak membuatnya membatu. Seperti itu. Aku dan kamu.



I wanna grow old with you.

Senin, 06 Februari 2012

India: Awal dari 10 Hari Yang Mengagumkan



Bagai siang hari yang terik kemudian bertemu dengan rintik hujan, dihidangkan warna-warni pelangi sebagai pelengkap menu santapan. Hari itu, 17 Januari 2012, saya mendapatkan izin untuk pergi ke Negeri Sungai Gangga, India. Saya dapat menemuinya. Riang gembira, hembusan napas mengeluarkan gula-gula kapas yang wangi dan berseri-seri. Bintang-bintang menari di dalam hati. Senang sekali rasanya, saya akan dapat menemui kekasih hati yang sudah enam kali purnama hanya dapat disentuh saat mata tertutupi mimpi. Saya ke India, menemuinya.
Maju mundur jadwal keberangkatan, masa pembuatan passport yang secara ajaib dapat diselesaikan dalam semalam, pro dan kontra dari keluarga besar yang membuahkan aliran air mata dan kemarahan, masa packing yang membingungkan dan pergulatan dengan kenyataan meninggalkan zona nyaman, semua terlewati. Diputuskan, 24 Januari 2012 saya akan mendarat di India.
Perjalanan menuju India tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berburu tiket kereta api untuk tanggal 22 Januari 2012 yang notabene merupakan long weekend merupakan cerita menegangkan tersendiri. Nyaris tidak ada lagi tiket menuju Jakarta, tetapi takdir dan kemudahan dari Allah, Tuhan semesta alam raya belum berhenti, pukul 17.00, tanggal 20 Januari, tiket kereta eksekutif Argo Dwipangga tambahan berhasil digenggam. Selanjutnya, tugas saya yang tersisa adalah menata keberanian hati untuk bepergian sendiri.
Tanggal 22 Januari 2012, pkl. 22.50, Stasiun Tugu. Kereta melaju membawa saya menuju stasiun Gambir yang berada di Ibu kota. Di ibu kota saya menginap di rumah seorang kerabat dari tanggal 23 januari pagi hari hingga tanggal 24 Januari 2012. Pukul 08.00, di dalam DAMRI menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, terminal 3, saya memantapkan hati sekali lagi. Ini kali pertama saya bepergian dengan pesawat seorang diri, ke luar negeri. Bismillahirrahmanirrahiim, seketika saya yakin bahwa saya tidak sendiri. Allah berada sangat dekat dengan saya , menjaga saya dan senantiasa melindungi saya.
Melalui proses check-in, proses pengurusan visa, makan pagi agak kesiangan sendirian, akhirnya saya “FIX” berangkat ke India. Perjalanan menuju India memakan waktu yang cukup lama. 2 jam perjalanan udara ke Bandara Internasional Kuala Lumpur, transit selama kurang lebih 2,5 jam di bandara yang berisi banyak orang India dan orang China,  lalu melanjutkan penerbangan ke New Delhi, India selama kurang lebih 5,5 jam.
Melintasi beberapa negara dan perbedaan zona waktu, saya tiba di Indira Gandhi International Airport, New Delhi, India. Saya mendarat pkl. 20.10 waktu setempat, masih di hari yang sama, hari ke-24 di bulan Januari.
Membereskan urusan Visa On Arrival, mengambil barang-barang kemudian mengalami keterkejutan perubahan lingkungan yang dialami kurang dari 24 jam membuat saya kehilangan kemampuan berkata-kata dan berpikir rumit. Saya tidak tahu apa yang orang-orang India itu bicarakan.
Saya sempat dimarahi petugas bandara karena saya tidak memperhatikan adanya antrian dan berjalan begitu saja. Ini adalah mekanisme pertahanan diri, saat itu saya sedang  mengalami dislokasi dan kesulitan dalam pemetaan ruang sehingga saya meminta tolong kepada seorang supervisor keamanan untuk menunjukkan kepada saya di mana tempat mengambil barang, saya berjalan tanpa memerhatikan kondisi sekitar. Haha! Bodohnya! Setelah meminta maaf, saya segera melanjutkan perjalanan, mengikuti arah jalan dari punggung Tuan Supervisor Keamanan Bandara.
Tadaaaa...! Sampailah saya pada tempat pengambilan barang. Barang-barang saya tampak bosan. Saya rasa barang-barang saya sudah berputar berkali-kali di atas roda-roda berjalan menanti untuk segera ditemukan.
Oya, selama perjalanan dari pesawat (setelah mendarat) ke tempat pengambilan barang-barang, saya bertemu dengan orang-orang Indonesia. Serombongan laki-laki dari usia muda hingga paruh baya dan dua orang dewasa yang saya jumpai di bagian imigrasi bagian urusan visa on arrival. Rasanya lega melihat ada orang satu bangsa di suatu negara asing. Sedikit berbincang. Rombongan laki-laki dengan rentang usia bervariasi yang mengenakan pakaian yang mencirikan suatu agama tertentu itu datang ke India untuk belajar ilmu agama, sedangkan dua laki-laki dewasa yang berasal dari Semarang dan Bali itu datang ke India untuk menghadiri acara pameran kesenian di New Delhi.
Setelah satu jam yang panjang dari prosesi pendaratan pesawat hingga pengambilan barang-barang, saya akhirnya bisa bernafas sedikit lega. Masih ada sisa helaan napas yang tersumbat di kerongkongan, kekhawatiran mencari Gate 5. Berjalan tidak sabar saya mengikuti arah berjalan serombongan orang. Mereka menuju Gate 6. Saya layangkan pandang ke arah kanan, Gate 5!
Bagaikan gerbang surga yang dikhususkan untuk jalan saya, Gate 5 yang dijaga dua orang berseragam polisi, tersenyum penuh makna. Seketika kepercayaan diri saya meningkat, keyakinan saya melampaui batas, hati saya memberi tahu otak saya bahwa seorang laki-laki sudah menanti tidak sabar di balik kaca Gate 5. Dia, kekasih hati saya.
Saya dorong trolli barang bawaan saya dengan tergesa-gesa. Sedikit bingung saat memilah-milah wajah para penjemput yang seluruh pandangannya tertuju pada saya. Pintu kaca terbuka secara otomatis dan BING BANG! Di sana lah dia berdiri. Tersenyum lebar penuh arti. Dialah sang kekasih hati.
Rasa-rasanya tidak percaya, saya berjalan canggung karena hati dipenuhi kebingungan untuk menunjukkan emosi. Emosi manakah yang tepat untuk saya tunjukkan padanya? Senang yang meluap-luap, rasa haru, rasa lega, rasa tidak percaya atau rasa yang mana? Tanpa saya sempat memutuskan emosi mana yang akan saya sajikan, saya sudah berjalan ke arahnya, tanpa sadar saya tersenyum lebar sambil memandanginya. Dia, di depan saya.
Saya lupa bahwa saya berada di sebuah negara asing hingga akhirnya sapuan angin dingin menerpa tubuh saya yang sudah saya balut dengan 2 jaket yang saya rasa cukup tebal. Bergidik, dia menyadarinya. Diberikannya sepasang sarung tangan bewarna cokelat untuk menghangatkan tangan saya. Masih tersenyum, kami berjalan dengan pandangan yang sama, pandangan tidak percaya. Takjub. Kami sama-sama tidak menyangka akan bertemu di saat itu, di negara ini. Negara ajaib yang sebagian wilayahnya beiklim sub tropis, sebagian lainnya beriklim tropis dan sebagian lagi memiliki iklim di antara keduanya.
 Enam bulan lamanya tidak bertemu tatap muka secara langsung membuat saya sedikit terpaku, mengamati seberapa banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Rambutnya lebih panjang dari yang saya duga, wajahnya lebih kurus daripada saat saya pandangi melalui layar, dan tentunya tangannya yang dingin karena dia telah menunggu kedatangan saya selama satu jam lamanya di ruang terbuka di depan pintu-pintu bandara. Bahagia.
Saya rasa, wajah saya saat itu berbinar lebih terang daripada lampu-lampu yang ada di bandara. Begitu juga dia. Pancaran rasa bahagia menghangatkan tubuh kami yang diterpa angin dingin bersuhu +/- 5 derajat Celcius. Cinta, cinta memang menembus batas, bahkan suhu udara.
Berbincang mengenai bagaimana perjalanan saya, kami bergandengan tangan sambil berjalan menemui seorang kawan berdarah India yang menemaninya menjemput saya. Tidak belama-lama di depan bandara, setelah mengambil beberapa foto berdua, kami mencari sebuah taksi. Rs 400,- adalah harga yang diminta pengemudinya, sekitar Rp 80.000,- dalam kurs rupiah. Taksi yang dipilihnya adalah taksi asli India yang pernah saya lihat di Film “Eat Pray Love” yang ditumpangi Liz saat menuju Ashram di India. Tidak berbeda dengan gambaran film itu, taksi itu mulai berjalan menembus jalan raya yang dipenuhi suara klakson segala jenis kendaraan yang mulai menyapa indra pendengaran saya. Memasuki jalan di kota, saya mulai melihat sapi-sapi beraneka ukuran berjalan melenggang dengan santai di antara hiruk pikuk kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Anjing-anjing juga tidak kalah bergaya, berlari di sepanjang jalan dan beberapa dari mereka tidur-tiduran di tepi jalan, mungkin kelelahan. Sampah dan debu tampak berkeliaran dengan bebas, membuat saya menutup hidung dengan syall yang saya gunakan, saya takut organ penciuman saya terkena serangan udara kotor yang terlalu mengejutkan. Ini lah, India. Saya akhirnya menjejakkan kaki di negeri asing di mana manusia, kendaraan, hewan dan tumbuhan membentuk suatu harmoni tersendiri.
Pada akhirnya, sampailah kami di tempat saya akan tinggal. Sebuah gedung di kompleks pertokoan. Duduk-duduk sebentar dan memutuskan bahwa kami akan mengakhiri hari ke-24 dan menyambut hari ke-25 di bulan Januari dengan bersantap malam bertiga, makanan pesan antar sebuah restaurant bergambar seorang kakek tua mirip Santa Claus mengisi perut-perut kosong yang merindukan hangatnya asupan energi. Setelah makan, rasa tidak percaya yang masih kami alami dipuaskan dengan perbincangan ringan hingga pkl. 03.00, berdua. Maih kurang rasanya, tetapi kami terpaksa segera tidur karena pada pkl. 07.00 akan datang sebuah mobil sewaan yang akan membawa kami ke Taj Mahal, Agra, India.
Saya, dia, dan India. Sebuah pengalaman yang tidak akan saya lupakan.



(Indira Gandhi International Airport, New Delhi, India)

Minggu, 08 Januari 2012

SCS

They say the best people come in your life when you least expect it.
My heart ached and the you came, taught me how to love.
I didn't even notice how I fell in love with you.
With every part of you.
"I'm not afraid to show my emotions, to be honest, to be vulnerable. True love deserve that". -Anonim

Jumat, 06 Januari 2012

Terasa Asam

Dia seorang teman baru yang bahkan belum pernah saya temui. Saya mengenalnya melalui dunia maya. Dua orang yang benar-benar asing. Kami berkenalan karena sebuah kondisi tertentu dan belum pernah bertatap muka. Beberapa kali kami bertukar cerita, saya merasa dekat dengannya. Saat itu kami memiliki nasib yang sama. Berpacaran dengan orang Indonesia yang menuntut ilmu di India. Sebuah hubungan jarak jauh.

Saya membaca beberapa tulisan yang dibuat untuk lelaki yang dikasihinya. Sederhana namun menyentuh hati saya. Saya banyak berdoa supaya mereka dapat bersama. Sayangnya, suatu hari pacar saya memberikan kabar bahwa hubungan mereka tidak selancar harapan saya.

Hingga saat ini, saya sering membuka akun twitter mereka berdua, memastikan jika ada komunikasi di antaranya. Nihil. Saya merasa kecewa. Haha, siapa saya? Bukan siapa-siapa.

Rasanya asam. Seakan ada jeruk nipis yang dijejalkan di kerongkongan saya. Seakan saya ikut merasa putus cinta. Sesak. Sekarang.