Semua orang dewasa di dunia ini pernah menjadi seorang anak kecil. Tidak perduli dari mana asalnya, semua orang dewasa pasti pernah menjadi anak-anak.
Ini adalah hari ke-11 saya menjadi trainee di sebuah sekolah di kota Jogjakarta. Jadwal trainee hari ini menempatkan saya untuk belajar di lapangan, yaitu Red Class. Red class adalah sebuah kelas di tingkat pre-school untuk anak usia 2 - 3 tahun dan 1 - 2 tahun (Red-baby). Hari ini adalah kelas Red untuk anak usia 2 - 3 tahun. Pada setiap harinya terdapat dua kelas Red yang diselenggarakan. Kelas pagi dan kelas siang. Jumlah rata-rata siswa adalah 20 anak.
Luapan rasa senang memenuhi hati saya. Melihat anak-anak dengan mata bulat memandang saya ketika saya diminta berkenalan. Dengan serempak mereka mengulangi perkataan guru kelasnya, "Good morning, Miss. What is your name?" Manis. Beberapa anak yang tampak cukup berani langsung mendekat, memandangi saya ketika saya mulai berbicara. Ternyata ada satu hal yang menarik perhatian mereka. Kawat gigi saya. Ya, power chain saya kali ini berwarna Pink Neon. Bukan warna yang tepat.
Hari ini adalah hari untuk assessment materi 'shapes'. Guru kelas meminta saya untuk mengawasi anak-anak bermain sementara satu per satu dari mereka akan dipanggil oleh guru. Saat itu, anak-anak yang berani mulai mendekat dan bercerita tentang hal-hal yang menarik bagi mereka. Ada seorang anak perempuan keturunan China yang memiliki mata bulat yang berkata pada saya, "Miss, nanti aku mau kasi liat ke mama. Aku mau kasih liat Miss yang balu.." Lucu dan polos, Ching-ching panggilannya.
Di kelas siang, anak-anak yang menjadi peserta kelas red lebih beragam. Ada Bebe si bule berkulit putih, seorang anak keturunan bangsa Afrika yang tidak pernah berbicara, sebagian anak keturunan China, anak-anak keturunan masyarakat lokal (Indonesia) dan seorang anak yang menarik perhatian saya, Juhi, anak perempuan keturunan India.
Juhi. Badannya kecil, tinggi dan langsing. Rambutnya panjang, matanya bulat, berbulu mata lebat dan lentik, alis mata tebal, bibir mungil, menggunakan dua buah gelang tangan, dan sebuah gelang kaki. Juhi fasih berbahasa Indonesia dan sangat suka menyanyikan lagu 'Twinkle-twinkle Little Star'. Dia yang saya tanya , "Can you speak Hindi?" dan menjawab, "Ngga bisa, Miss".
Saat melihat Juhi, saya teringat anak-anak India lainnya yang saya temui saat saya pergi ke India. Saya tidak memperhatikan prosentasenya, tetapi dapat saya katakan, saya melihat banyak anak di India, khususnya di New Delhi dan daerah sepanjang jalan menuju Agra yang bekerja. Beberapa anak saya lihat bekerja menjajakan chai (teh susu ala India), ada juga beberapa anak yang menjajakan permen karet, dan beberapa lainnya saya lihat mereka sedang bekerja memindahkan pasir dari satu ke tempat lain dengan mengankatnya di kepala. Saat saya tanyakan kepada pacar saya, dia bercerita bahwa hal itu adalah hal yang umum terjadi di India. Jika dibandingkan dengan kondisi anak-anak di Indonesia, khususnya Jogjakarta, kondisi anak-anak di India lebih buruk. Mereka mengenakan pakaian lusuh, wajah mereka tampak lebih kotor, mata mereka juga menyiratkan rasa lelah yang seharusnya belum dirasakan oleh anak seusia mereka.
Saya tidak berbicara data, saya hanya berbicara rasa. Menurut saya, tidak semestinya anak-anak usia di bawah umur merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak India. Usia mereka semestinya dihabiskan untuk bermain dan belajar. Makanan yang sehat, tempat tinggal dan pakaian yang layak serta pendidikan yang baik adalah hal-hal yang semestinya mereka dapatkan. Ibarat tanaman, mereka adalah tunas muda yang dipaksa berbuah. Sekali lagi alasannya adalah kemiskinan. Pendidikan dirasa mahal, kemungkinan pola pikir yang terjadi adalah, "Daripada sudah bersekolah tidak juga mendapatkan pekerjaan yang baik, lebih baik bekerja saja semenjak anak masih kecil". Kalau sudah begitu, idealisme tentang perkembangan anak akan sangat mudah dipatahkan. Langkah solutif berupa pendidikan gratis atau pendidikan murah ternyata belum berhasil secara mutlak. Kemungkinan mereka berpikir, "Daripada waktunya dihabiskan untuk bersekolah, lebih baik bekerja menghasilkan uang. Ya, kemiskinan. Kemiskinan membuat seseorang sulit berpikir panjang. Mereka sulit untuk berinvestasi di masa depan karena mereka sendiri masih harus berjuang untuk hidup di masa sekarang. Korbannya adalah anak. Anak dijadikan 'tenaga' tambahan untuk menghasilkan uang.
Sekelumit cerita lain tentang anak di India yang berkaitan dengan kemiskinan adalah perbandingan jumlah anak laki-laki dengan anak perempuan yang ternyata lebih banyak anak laki-laki. Hal ini bukan karena kemiskinan mampu menyebabkan angka bayi laki-laki yang lahir sangat tinggi, namun konon katanya, bayi perempuan yang lahir di keluarga yang kurang mampu, terpaksa 'tidak dilanjutkan' kehidupannya. Miris.
Adat di India membuat anak perempuan yang hendak menikah mengeluarkan biaya yang sangat besar, untuk mas kawin dan lain-lain. Oleh karena itu, sebuah keluarga yang tidak mampu lebih memilih kelangsungan hidup anak laki-laki daripada kelangsungan hidup anak perempuan.
India adalah negara yang cukup kontradiktif (menurut saya). Orang kaya bersanding dengan orang miskin, daerah kumuh terpapar di hadapan kawasan pertokoan. India. Sebuah negara berkembang yang unik. banyak cerita berkaitan kehidupan sosial yang mampu mengkayakan hati saya.
Juhi, entah dia pernah menginjakkan kaki di India atau belum, dia adalah anak keturunan India yang beruntung. Bersekolah di sekolah yang cukup mahal, mengenakan pakaian yang layak dan sebagai anak perempuan, ia masih hidup. Juhi, bersyukurlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar