Selasa, 16 November 2010

Sepasang Mata dari Dunia Tanpa Rasa


Seorang gadis dari suku bangsa kulit putih, kita sebut saja namanya Khan. Khan? Ya, dia gadis dengan ciri-ciri yang mirip seperti Khan dalam film My Name Is Khan.


Khan ini didiagnosis mengalami autisme sejak masih kecil. Saat ini Khan tinggal di sebuah asrama milik seorang ibu pemberi terapi autis. Khan datang ke Yogyakarta ketika ia berada di kelas 3 SD dan saat ini Khan sudah duduk di kelas 2 SMP, di sebuah SMP untuk anak bukan luar biasa. Khan adalah seorang gadis yang berasal dari sebuah pulau terbesar di Indonesia.


Saya terenyuh melihat Khan. Menurut saya, semua tingkah laku Khan, baik verbal mau pun non verbal adalah tingkah laku yang datar. Intonasi suaranya, gerakan tangannya, bahkan tatapan matanya. Semua datar, tidak tampak adanya bukit, gunung atau pun jurang. Rata.


Ketika saya tersenyum, dia hanya memandangnya. Kosong, tidak tampak suatu perasaan apapun dimatanya. Ketika Ibu Walinya bercanda, dia tetap memandang kosong. Khan hanya menimpali candaan itu dengan datar.


Saya hanya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana dunia yang dijalani oleh Khan? Dunia remaja yang biasanya dipenuhi canda tawa khas remaja yang nampak disikapinya dengan datar.


Menurut sebuah artikel yang saya baca, penderita autis ringan yang dikenal dengan nama Asperger Syndrom ini memang mengalami hambatan dalam mengenal ekspresi afeksi orang lain dan mengekspresikan afeksinya sendiri. Dia tak sepenuhnya mengerti arti tawa, senyum, marah dan perubahan intonasi suara.


Inilah dunia Khan. Saya hanya menuliskan dari apa yang saya amati, hal-hal kasat mata yang dapat saya lihat. Darinya saya mengerti arti penting sebuah quote "Mata adalah jendela jiwa". Dari mata, terpancar perasaan atau afeksi yang dirasakan seseorang. Namun bagaimana dengan Khan? Apakah matanya yang kosong ketika memandang seseorang merupakan indikasi kehampaan dan kesepiannya dari sentuhan afeksi?


Maka bersyukurlah saya ketika melihat ke arah cermin dan melihat sepasang mata yang memandang balik kepada saya. Sepasang mata yang masih memiliki jiwa.





kekayaan rasa terpancar melalui mata

Selasa, 09 November 2010

Manusia Selang Air

Kau lihat selang air di sana? Berdiri tegak dengan kepala menengadah ke atas. Berjalan dengan pongah seolah makhluk paling gagah.



-----------



Hei, selang air, tak lihatkah ada manusia lain di sekitarmu?

Tundukkanlah sedikit kepalamu, berilah salam hormat dan sapaan hangat kepada mereka yang kau lihat.



Selang air, tak dapatkah kau menunduk sedikit saja?

Apakah gerangan yang kau lihat di atas sana?

Apa yang kau cari di langit tanpa batas itu?

Tak ingatkah kau pada bumi?



Selang air, mereka menyapamu, mereka memberimu sebuah senyum tulus yang membentuk sudut lengkung di wajah mereka.

Berikanlah balasan darimu.

Sentuh mereka dengan hangatnya tawa candamu.



Oh,, selang air.

Siapa pun dirimu kini, kau tetap manusia.

Kau sama dengan dengan mereka.

Menunduklah..



Selang air!

Kemana perginya sopan santunmu?

Ada manusia yang lebih tua pun tak kau perdulikan keberadaannya.

Apakah sebegitu beratnya menggerakkan mulutmu itu untuk berbicara?

Sebegitu mahalnyakah harga sebuah kata dari bibirmu yang berwarna?

Selang air, menunduklah..



Selang air, tidakkah kau diberikan pelajaran budi pekerti?

Ayah dan Ibumu bertanya, kau diam.

Gurumu memberi salam, kau diam.

Teman-temanmu meberikan senyum, kau diam.



Selang air, mau jadi apa kau nantinya?

Tak kau hiraukan lagi keberadaan orang lain selain dirimu.

Kemana perginya seluruh sopan santun dan ramah tamah yang dulu kau miliki.

Mengapa semua tiba-tiba bersembunyi?

Ingatlah, dengan menghormati orang lain, maka kau akan dihormati pula, hargailah orang lain, dan kau akan dihormati juga oleh mereka.



Pikirkan tindakanmu, selang air.

Jangan kau merasa paling hebat dan paling pandai.

Merendahlah.

Ketika kau merendah, orang lainlah yang akan meninggikanmu, namun ketika kau meninggikan dirimu, orang lain akan merendahkanmu.



Sebarkan lah rasa kasihmu, selang air.

Bagikan tawa riang dan senda guraumu pada mereka.

Tak usahlah semua hal kau hitung dengan kotak ajaibmu yang berisi tombol operasi matematika.

Karena sebenarnya, kau tak akan pernah mampu mengkalkulasikan sebuah nilai dalam hidup ini, yaitu "nilai keberadaanmu".

Jumat, 05 November 2010

Kata Merapi

"Hallo, Jogja.. Selamat Pagi? Apa kabarmu, teman lama? Hehe.. Maaf, aku baru saja terbangun dari tidurku. Oya, bagaimana abu vulkanikku? Sudah diterima kan?


"Apa?"


"Tidak Jogja, aku tidak marah. Aku bukan sedang mengamuk.."


"Hah? Korban? Maaf soal itu, aku sudah berusaha sebisaku untuk memberi tanda-tanda pada mereka. Tapi mereka terlalu menyayangiku. Mereka mengira bahwa aku sedang marah, jadi mereka berusaha menenangkan aku. Aku juga menyayangkan kepergian mereka yang katanya karena aku. Tapi sungguh, Jogja, aku tak bermaksud begitu. Kita sudah berkawan lama kan?"


"Yah, mungkin ini keterbatasanku sebagai sebuah gunung, aku tak dapat bebicara dan memaparkan semua rencanaku. Tapi, andai kau tau, Jogja. Rencanaku ini merupakan rencana jangka panjang, lho. Lebih panjang dari REPELITA. Aku merencanakan sesuatu yang besar bagi generasi-generasi mendatang. Bukan hanya generasimu, Jogja, tetapi generasi mendatang di seluruh dunia."


"Jangan marah, Jogja. Jangan kau berburuk sangka padaku. Dengarkan dulu rencanaku."


"Begini awalnya. beberapa waktu lalu, kawan lama kita, Puting Beliung mengunjungiku. Dia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu ketika aku masih tertidur, dia berjalan-jalan beberapa kali melintasi Pulau Jawa. Katanya, baru sebentar dia melintas, pohon-pohon bertumbangan, ada yang dahan-dahannya patah dan ada juga yang tercabut hingga akar-akarnya. Asumsi dari Puting Beliung adalah karena pohon-pohon mulai bosan berada di sini. Mereka tak lagi mendapat cukup makanan dari tanah. Mereka sedikit kecewa pada hujan, karena belum sampai sampah-sampah daun berubah menjadi humus, sampah-sampah itu sudah tersapu oleh airnya. Belum lagi lahan hidup mereka semakin sempit karena terdesak oleh pesatnya pembangunan di kotamu. Mereka tidak lagi memiliki banyak teman sepepohonan."


"Lalu, Puting Beliung pergi menemui Laut. Dia bertanya, mengapa Laut memproduksi terlalu banyak uap air sehingga hujan turun berkepanjangan. Kata Laut, terlalu banyak sinar matahari yang mengubah air laut menjadi uap air dan kemudian membentuk awan. Dn turunlah hujan. Saat Puting Beliung berjalan-jalan, dia mendengar istilah 'global warming'. Kata mereka, hal itu lah yang menyebabkan kenaikan suhu di Bumi dan secara tidak langsung hal itu juga yang mebuat banyak hujan terjadi di dunia."


"Lalu aku berdiskusi dengan Puting Beliung. Aku berpikir, bagaimana caranya menhijaukan Bumi ini lagi sehingga dampak dari 'global warming' dapat dikurangi. Aku mengerjapkan mata dan melihat beberapa pendudukmu sedang mengkampanyekan suatu gerakan penghijauan bertajuk 'go green'. Aku mendapatkan ide dari hal itu. Lalu kususunlah sebuah rencana 'go green' sebaik mungkin untuk membantu menyukseskan kampanye mereka."


"Tunggu, Jogja. Jangan terburu-buru. Dengarkan baik-baik. Begini rencananya. Pertama-tama aku akan mengeluarkan abu vulkanikku yang memiliki zat hara untuk menyuburkan tanah, aku harap, tanah di Bumi ini akan subur. Dalam hal ini, aku juga sudah bekerjasama dengan Angin. Aku memintanya untuk mendistribusikan abu vulkanikku ke tempat-tempat yang mampu dia jangkau. Aku juga sudah membujuk Laut untuk menciptakan hujan. Hujan akan membantu dalam proses penyerapan mineral-mineral alamiku, sekaligus membersihkan kotamu yang tampak putih dari atas sini. Lambat laun, tanah-tanahmu akan kembali subur, aku harap akan banyak pepohonan yang menyukainya. Aku harap mereka mau mengerti dan mau bertahan ketika Puting Beliung berkunjung lagi. Yah, ini semacam sogokan bagi mereka agar mereka tetap mau bertahan hidup di kotamu, Jogja."


"Apa tumbal?! Hei, kau tahu aku tidak memakan manusia atau ternak kan? Aku menyayangi mereka. Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Namun mereka tidak mengerti maksudku. Aku tak pernah bermaksud mengorbankan manusia-manusia itu, dan ternak-ternak itu."


"Baiklah, maaf aku tidak sengaja. Tapi, aku juga sudah berdoa pada Tuhanku Pemilik Serdadu Malaikat. Aku memohon kepada-Nya untuk mengantarkan ruh dari korban-korban itu ke tempat terindah di sisi-Nya. Aku juga berdoa, semoga ternak-ternak yang meninggal itu dapat dihitung sebagai kurban dari pemiliknya. Semoga nantinya para ternak dapat menjadi tunggangan pemiliknya ketika mereka berada di Padang Masyar. Aku benar-benar minta maaf, Jogja. Aku juga berduka."


"Oya! Untuk pepohonan yang rusak, aku sudah berdoa juga pada-Nya, agar dari bekas mereka itu, ditumbuhkannya beraneka ragam tumbuhan-tumbuhan baru yang lebih hebat. Tumbuh-tumbuhan yang mampu menghijaukan dunia ini, mampu memproduksi leboh banyak Oksigen untuk kebutuhan pernafasan manusia yang jumlahnya semakin banyak."


"Begitulah rencanaku, Jogja. Memang masih lama sekali hal tersebut terjadi, namun aku harap kau dan pendudukmu mampu bersabar menunggu hingga keajaiban itu terjadi."


"Ya, aku tahu, mungkin generasi sekarang tak memiliki waktu yang cukup panjang untuk melihat hal itu terjadi. Tapi tenang saja, Jogja. Aku sudah menyediakan hadiah kecil yang lain. Tak lihatkah kau sungai-sungaimu mengalirkan lahar dinginku? Itu hadiahku untuk jangka waktu dekat ini, Jogja. Aku memberikan beberapa bahan dasar untuk pembangunan di kotamu. Aku juga ingin ikut aktif terlibat dalam hiruk pikuk perkembangan manusia menuju masa yang lebih baik, tentunya."


"Sekali lagi aku minta maaf, sobat lama. Dan maaf juga kalau beberapa waktu aku terbatuk terlalu keras sehingga membuat panik seluruh pendudukmu. Saat itu aku tersedak sesuatu, lalu aku terbatuk terlalu kuat. Maaf ya. Aku benar-benar tidak punya maksud buruk padamu, saudaraku."


"Tidak, tidak perlu berterima kasih. Aku ikhlas melakukan semuanya. Semoga bermanfaat ya."


"Sampai kapan?"


"Em,, aku belum tahu pasti. Aku rasa sesegera mungkin. Jika aku sudah mendapat kabar dari Angin tentang pendistribusian abu vulkanikku. Tunggulah, kawan. Sebentar lagi, dan setelah itu aku akan tertidur lagi. Tertidur untuk mempersiapkan masa bangunku di waktu yang akan datang. Aku berharap, ketika aku terbangun lagi, aku melakukan segala sesuatunya dengan cara yang lebih baik lagi."


"Terima kasih untuk seluruh pengertianmu, kawan. Sampaikan terima kasihku kepada pendudukmu yang menjadi relawan dan pendudukmu yang secara tulus membantu proses evakuasi pengungsi, terima kasih juga pada pendudukmu yang terus memantau keadaanku. Tolong yakinkan kepada mereka kalau aku akan segera mereda. Sampaikan pada pendudukmu yang kehilangan saudara dan keluarga, bahwa aku tidak sengaja dan aku turut berduka cita sedalam-dalamnya."


"Terima kasih, kawan. Terima kasih untuk kesedianmu mendengarkanku dan menyampaikan pesan-pesanku. Tunggulah beberapa saat lagi, aku akan berhenti, semua aman terkendali, perekonomianmu bangkit lagi dan jumlah wisatawanmu akan meningkat drastis bagaikan dalam mimpi."


"Uahmm.. Lihat, aku mulai mengantuk, Jogja, kawan dan sahabat lamaku. Sampai jumpa lagi di lain waktu ya."


"Terima kasih banyak atas kesabaranmu."




"Bersabarlah.."