Kamis, 30 Desember 2010

Penemuan: Dia di Dalam Aku

"Kita putus"

Sebuah kalimat yang membuatku terdiam, terkejut hingga tak mampu bereaksi. Sebuah perdebatan kecil melalui pesan singkat berubah menjadi sebuah pelatuk yang mencetuskan sebuah eksekusi pengakhiran. Beberapa menit kemudian, setelah semua syaraf kembali bekerja, aku tersadar, semua berakhir.

Beberapa hari aku hidup bagai zombie, zombie yang tak memiliki ruh, zombie yang tak memiliki rasa. Aku mati rasa, jiwaku pergi. Aku hanya bisa menangis, menangis karena aku tahu seharusnya aku bersedih. Aku hanya tahu bahwa aku seharusnya bersedih. Tak dapat merasa.

Bertepatan dengan peristiwa itu, ibuku harus di rawat di rumah sakit. Lengkap. Makin aku mati rasa.

Aku hanya sendiri, setiap siang dan malam hari menyusuri lorong sepi rumah sakit itu. Aku menemani ibuku, aku harap ibuku segera pulang. Mungkin lebih tepatnya, ragaku menemani ibuku.

Tidak ada kabar darinya. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku sendiri.

Sesekali teman-temanku datang menjenguk ibuku. Hatiku mulai bisa merasa, mereka memberiku rasa. Tetapi sayangnya rasa itu tidak bertahan lama, hanya bertahan sekejap lalu hilang. Aku mencarinya, mencari orangku satu-satunya. Dia tetap tidak ada. Hanya sesekali ku dapat pesan singkat darinya. Hal itu tidak membuatku lebih baik. Aku tidak sekedar membutuhkan pesan singkat.

Sering aku menahan tangisku di depan ibuku, yang kemudian menyebabkan suaraku sedikit menghilang. Dalam istilah psikologi hal itu disebut hysterical aphoni (tidak mampu berbicara keras dan suara berbisik). Hal itu merupakan dampak dari represi yang aku lakukan. Dampak berikutnya adalah somatisasi. Somatisasi adalah bentuk gangguan kecemasan yang tidak begitu jelas karena dimunculkan dalam bentuk keluhan fisik.

Ternyata aku lemah, aku tidak sekuat yang aku kira.

Aku selalu ingin merasa kuat dengan berkata kepada diriku sendiri, "Sya, kamu ngga apa-apa lho. Kamu kuat. Kamu bisa". Tapi ternyata tidak. Aku tidak kuat dan aku belum bisa. Aku membutuhkan waktu untuk berduka. Berduka karena kehilangan seorang lelaki dari hidupku. Aku membutuhkan masa berkabung.

Mungkin bukan karena "putus"nya lalu aku bersedih, namun lebih kepada "takut kehilangan". Aku takut sendiri, aku bukan jenis manusia yang mudah dekat secara emosi dengan orang lain, maka dari itu, aku takut kehilangan dia. Dia yang merupakan orangku satu-satunya. Orang yang aku perbolehkan melihatku sampai ruang terburukku. Dia yang di depannya aku tidak menggunakan lapisan catku.

Berminggu-minggu berlalu. Secara berlebihan aku dapat mengatakan bahwa dunia ini terasa hampa. Terus merasa sepi walau berada dalam keramaian. Senyum dan tawaku hanya terbias dari bibirku, tak terpancar di mataku. Aku lah, Isya si Zombie.

Aku lelah. Lelah mengeluh pada teman-temanku. Aku tahu mereka mempunyai segudang aktivitas yang lebih berharga daripada hanya mendengarkan ceritaku yang itu-itu saja. Aku juga tidak mau terus-terusan berkubang dalam lubang hitam. Aku harus bangkit.

Ketika itulah, setelah aku membuat keputusan itu, aku tersadar.
Dalam suatu sujudku, aku menemukan-Nya.

Allah tidak pernah tidur. Allah adalah satu-satunya tempatku bersandar. Allah tempatku bisa menceritakan semua perasaanku. Dan hanya Allah yang tahu benar bagaimana perasaanku, Dia memahamiku lebih dari siapapun.

Tapi di mana Allah? Aku tak dapat melihat-Nya.

Aku berdoa lagi dan kemudian dalam sujudku yang selanjutnya aku teringat, Allah ada sangat dekat denganku. Allah berada di dalamku. Lebih dekat dari siapapun yang berada di sampingku. Allah tidak pernah beranjak sedetik pun dari diriku. Dia selalu melihatku, mengawasiku, dan menungguku untuk bercerita kepada-Nya. Ya, aku menemukannya, aku menemukan yang aku cari. Aku menemukan Dia yang selalu bisa menerima diriku apa adanya, yang selalu mau mendengarkan ceritaku tak perduli berapa kali aku mengulangnya, tak perduli seberapa membosankannya ceritaku, dan pada-Nya aku tak perlu malu. Dia-lah Tuhanku satu-satunya.

Ternyata, ketika aku tak dapat melihat-Nya, itu bukan berarti Dia tak ada. Aku hanya perlu merasakan-Nya. Merasakan keberadaan-Nya yang lebih dekat dari apa pun. Merasakannya dengan kepercayaanku. Dia yang selalu menjagaku 24 jam/hari setiap tahunnya dalam setiap nafas yang ku hirup.

Kepada-Nya aku dapat memohon apa pun yang aku mau, kepada-Nya aku tak perlu malu menceritakan semua rahasiaku, dan Kepada-Nya aku tak perlu takut kehilangan.

Dari-Nya aku mendapat kekuatan, dari-Nya aku mendapat kesembuhan dan dari-Nya aku mendapatkan janji abadi yang tidak mungkin diingkari.

Ketika aku bersungguh-sungguh memohon, ketika yang ku mohonkan adalah hal yang baik bagiku menurut-Nya, maka Allah akan mengabulkan doaku di suatu waktu.

Allah, terima kasih Engkau bersedia ada untukku. Bersedia tetap tinggal untuk mendengarkanku walau aku sangat sering melupakan-Mu. Terima kasih, Ya Allah.


Kesimpulannya: mulai dari hari ini dan seterusnya, hal-hal yang harus ku lakukan hanyalah:

Berdoa, Percaya dan Bersabar menanti kejaiban dari-Nya.