Dilahirkan di keluarga kecil, Sudijah (baca: Sudiyah) kecil memiliki dua orang kakak tiri berbeda bapak. Hidup di jaman penjajahan, Sudijah terlahir pada tanggal 25 Mei 1939. Beranjak dewasa Sudijah kemudian menikah dengan seorang pria rupawan bernama Prapto. Mereka dikarunia 7 anak, 4 laki-laki dan 3 perempuan. Kehidupan awal pernikahan yang sangat membahagiakan. Suami Sudijah berprofesi sebagai pengrajin logam -keris-hiasan rumah tangga dari kuningan-, sedangkan Sudijah sendiri adalah ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anaknya.
Keluarga besar ini terasa sangat harmonis. Pekerjaan Sang suami menghantarkan keluarga Praptowihardjo ke puncak kesuksesan mereka. Namun sayang tak lama setelah itu, prahara menerpa. Sang suami pergi entah ke mana, meninggalkan Sudijah dan ketujuh anaknya. Perubahan perekonomian membuat perubahan drastis pada pola hidup keluarga ini. Mereka harus mulai berhemat. Sudijah mulai putus asa, sendirian menghadapi hidup dan harus berjuang sendiri untuk menghidupi malaikat-malaikat kecilnya. Sudijah sadar bahwa ia belum bisa menyerah. Sudijah pun bangkit demi ketujuh mulut mungil yang masih harus diberi makan olehnya.
Hari berganti,...
Ketujuh anak Sudijah mulai dewasa dan kemudian menikah. Sudijah tetap sendiri, menjalani masa tuanya di sebuah rumah seluas +/- 1000m2 pemberian dari Sang suami. Sudijah hidup bersama 3 keluarga anak lelakinya yang tetap hidup bersama. Sudijah yang tidak bekrja menggantungkan hidupnya pada barang-barang yang dapat digadaikan atau dijual dan juga uluran kasih dari anak-anaknya yang mampu. Meski begitu, Sudijah tua tak pernah mengeluh. Sudijah berkembang menjadi seorang nenek yang dekat dengan semua cucunya. Sangat dekat.
Menyadari masa hidup yang sudah banyak terpakai, Sudijah kemudian mulai memfokuskan diri untuk mengumpulkan bekal ke akhirat. Sudijah mulai belajar membaca Al-Qur'an. 2 kali seminggu Sudijah tua pergi ke rumah anak ke-tiganya untuk turut belajar mengaji bersama kedua cucunya. Sudijah adalah wanita yang mandiri, ia tak pernah ingin merepotkan orang lain. Jarak jauh bukan masalah bagi Sudijah untuk belajar agama. Ketika anak-anaknya tidak memiliki waktu untuk mengantarkannya, Sudijah dengan senang hati akan pergi dengan menggunakan transportasi umum. Begitulah Sudijah..
Tak hanya mengaji 2 kali seminggu di rumah anak ke-tiganya, Sudijah tua juga mengisi setiap waktu luangnya untuk memeperdalam ajaran agama. Semua pengajian yang diketahuinya diikuti, setiap ceramaha agama yang ada di televisi ditontonnya. Terbangun setiap pukul 02.00 untuk mandi kemudian Sholat Tahajud, dilanjutkan mengaji menanti adzan Subuh. Selesai sholat Subuh, Sudijah selalu siap sedia di depan televisi mungil pemberian anak ke-empatnya untuk menyimak setiap pengajian yang ada. Chanel berganti, begitu juga tahun-tahun.. Sudijah ingin naik haji..
Anak-anak Sudijah mengetahui keinginan ibunya, pahlawan kehidupan mereka. Mereka kemudian mengusahakan agar ibu mereka dapat pergi beribadah ke tanah suci. Sudijah memiliki satu doa sepanjang hidupnya..
Hari berganti,...
Ketujuh anak Sudijah mulai dewasa dan kemudian menikah. Sudijah tetap sendiri, menjalani masa tuanya di sebuah rumah seluas +/- 1000m2 pemberian dari Sang suami. Sudijah hidup bersama 3 keluarga anak lelakinya yang tetap hidup bersama. Sudijah yang tidak bekrja menggantungkan hidupnya pada barang-barang yang dapat digadaikan atau dijual dan juga uluran kasih dari anak-anaknya yang mampu. Meski begitu, Sudijah tua tak pernah mengeluh. Sudijah berkembang menjadi seorang nenek yang dekat dengan semua cucunya. Sangat dekat.
Menyadari masa hidup yang sudah banyak terpakai, Sudijah kemudian mulai memfokuskan diri untuk mengumpulkan bekal ke akhirat. Sudijah mulai belajar membaca Al-Qur'an. 2 kali seminggu Sudijah tua pergi ke rumah anak ke-tiganya untuk turut belajar mengaji bersama kedua cucunya. Sudijah adalah wanita yang mandiri, ia tak pernah ingin merepotkan orang lain. Jarak jauh bukan masalah bagi Sudijah untuk belajar agama. Ketika anak-anaknya tidak memiliki waktu untuk mengantarkannya, Sudijah dengan senang hati akan pergi dengan menggunakan transportasi umum. Begitulah Sudijah..
Tak hanya mengaji 2 kali seminggu di rumah anak ke-tiganya, Sudijah tua juga mengisi setiap waktu luangnya untuk memeperdalam ajaran agama. Semua pengajian yang diketahuinya diikuti, setiap ceramaha agama yang ada di televisi ditontonnya. Terbangun setiap pukul 02.00 untuk mandi kemudian Sholat Tahajud, dilanjutkan mengaji menanti adzan Subuh. Selesai sholat Subuh, Sudijah selalu siap sedia di depan televisi mungil pemberian anak ke-empatnya untuk menyimak setiap pengajian yang ada. Chanel berganti, begitu juga tahun-tahun.. Sudijah ingin naik haji..
Anak-anak Sudijah mengetahui keinginan ibunya, pahlawan kehidupan mereka. Mereka kemudian mengusahakan agar ibu mereka dapat pergi beribadah ke tanah suci. Sudijah memiliki satu doa sepanjang hidupnya..
"semoga suamiku kembali padaku"
Tuhan semesta alam mendengar dan mengabulkannya. Di akhir hayatnya, Sang suami dating dan meninggal dipelukan Sudijah. Sudijah senang sekaligus bersedih. Senang karena doanya dikabulkan dan bersedih karena ia hanya memiliki sedikit waktu untuk merawat suaminya sebelum meninggal.
Sang suami meninggalkan setumpuk hutang pada Sudijah dan anak-anaknya. Namun dengan kesabaran dan keikhlasan, Sudijah berusaha sekuat tenaga agar dapat membayarkannya.
Sang suami meninggalkan setumpuk hutang pada Sudijah dan anak-anaknya. Namun dengan kesabaran dan keikhlasan, Sudijah berusaha sekuat tenaga agar dapat membayarkannya.
“cinta bukanlah pengorbanan, melainkan dedikasi”
Cinta Sudijah pada keluarga –orang tua, suami, anak dan cucu- tak pernah lekang oleh waktu. Setiap hari dalam setiap sujudnya, mereka memiliki waktu khusus untuk didoakan oleh Sudijah.
Rabu lalu, 24 Februari 2010, Sudijah yang selalu menjadi penyemangat bagi orang lain telah berpulang pada Sang Penciptanya. Senyum manis menghiasi wajahnya yang lelah menhadapi penyakit –yang sebenarnya sederhana- diakhir hidupnya.
11 hari sebelum kepergiannya (13 Februari 2010) Sudijah dirawat di Rumah Sakit karena mengalami alergi obat pasca operasi kecil. Sebenarnya operasi yang dijalani Sudijah berjalan lancer, namun obet yang diberikan tidak sesuai dengan keadaan tubuh Sudijah sehingga terjadi alergi. Seluruh tubuh Sudijah berubah merah dan ia merasa panas dan gatal. Namun diwaktu seperti itupun, Sudijah tetap tidak ingin mengeluh. Dia tetap berusaha agar dapat sembuh, dia tidak ingin membuat repot orang lain.
Rabu lalu, 24 Februari 2010, Sudijah yang selalu menjadi penyemangat bagi orang lain telah berpulang pada Sang Penciptanya. Senyum manis menghiasi wajahnya yang lelah menhadapi penyakit –yang sebenarnya sederhana- diakhir hidupnya.
11 hari sebelum kepergiannya (13 Februari 2010) Sudijah dirawat di Rumah Sakit karena mengalami alergi obat pasca operasi kecil. Sebenarnya operasi yang dijalani Sudijah berjalan lancer, namun obet yang diberikan tidak sesuai dengan keadaan tubuh Sudijah sehingga terjadi alergi. Seluruh tubuh Sudijah berubah merah dan ia merasa panas dan gatal. Namun diwaktu seperti itupun, Sudijah tetap tidak ingin mengeluh. Dia tetap berusaha agar dapat sembuh, dia tidak ingin membuat repot orang lain.
“aku tu pengen cepet sembuh, aku ngga suka bikin orang kerepotan”
6 hari di rawat di Rumah Sakit pertama, Sudijah tidak juga mengalami perubahan positif. Keadaan Sudijah malah semakin buruk karena penyakit tersebut sudah mulai menyerang organ dalam Sudijah. Sudijah sulit makan karena tenggorokannya sakit. Namun begitu Sudijah tetap bercanda dan tidak mengeluh.
Hari ketujuh, Sudijah dipindahkan ke Rumah Sakit kedua, Sudijah tampak sedikit lega. Namun ternyata, alergi tersebut menyebabkan fungsi hati Sudijah memburuk. Begitu pun, Sudijah tetap bersemangat.
Hari ketujuh, Sudijah dipindahkan ke Rumah Sakit kedua, Sudijah tampak sedikit lega. Namun ternyata, alergi tersebut menyebabkan fungsi hati Sudijah memburuk. Begitu pun, Sudijah tetap bersemangat.
“nanti kalau aku pulang, kita syukuran ya..”
Selasa, 23 Februari, kondisi Sudijah sedikit membaik, merah dan bengkak di tangan sudah mulai sembuh. Sudijah masih bisa bercanda dan berbicara dengan jelas kepada orang lain. Hanya saja, penglihatan Sudijah mulai tidak jelas. Namun ia tidak sekalipun mengeluh. Tak pernah Sudijah berputus asa, ia hanya ingin segera sembuh.
Kepergian Sudijah yang tiba-tiba sangat mengejutkan bagi setiap orang yang mendengarnya. Siang hari pada 24 Februari itu, Sudijah masih bercerita dan berkata bahwa ia dapat tidur nyenyak. Namun pada sore hari, kondisi Sudijah langsung menurun. Sudijah mulai mengalami halusinasi bahwa ia seperti mendengar suara kakak pertamanya. Anak Sudijah kemudian menelponkan Sang kakak agar dapat mengunjungi adiknya. Sudijah masih sempat minta duduk, berbicara dan menangis ketika Sang kakak datang. Sudijah bahkan berjanji akan sesegera mungkin menemui kakaknya jika sudah sembuh. Tak lama setelah Sang kakan pulang (pukul 20.30), Sudijah semakin tidak sabar untuk pulang, ia sangat ingin pulang ke rumah tercintanya. Anak Sudijah meminta pendapat perawat mengenai permintaan ibunya. Kata perawat dokter mengijinkan. Sudijah mulai tidak sabar untuk pulang. Kemusia, segala masalah administrasi langsung ditangani oleh anak ke-empat Sudijah, sedangkan anak ke-dua dan ke-tiganya langsung pergi menuju rumah, untuk menyiapkan keperluan perawatan Sudijah di rumah nanti. Sudijah di Rumah Sakit ditemani oleh anak pertama, ke-enam dan ke-tujuhnya. Sudijah meminta anak laki-lakinya (anak ke-tujuh untuk mendudukkannya). Sudijah hanya sempat menyebutkan nama anak ke-tujuhnya itu, “Sap..” anak ke-tujuh dank e-enam pun kemudian berusaha aga Sudijah tetap sadar, pipi keriput Sudijah ditepuk-tepuk agar Sudijah tidak tertidur. Namun tampaknya waktu Sudijah sudah tiba. Serta-merta kedua mata Sudijah melihat kea rah atas, tangannya bergetar dan telinga mulai menutup. Anak pertama kemudian memenggil perawat. Seolah-olah tahu apa yang sedang terjadi, perawat yang datang berjumlah dua orang, padahal biasanya, jika ada yang mengebel, hanya satu perawat yang datang. Sudijah langsuung ditidurkan, tubuhnya langsung dipasangi berbagai alat Bantu dan alat pengukur detak jantung. Detak jantung Sudijah masih bagus. Namun begitu, para perawat langsung bergantian untuk memberi bantuan pernafasan dan memompa jangtung Sudijah agar tetap berdetak.
Menyadari apa yang sedang terjadi, anak ke-enam segera menelpon kaka-kakanya (anak ke-dua, ke-tiga, dan ke-empat) agar segera kembali ke kamar ibu mereka. Tak berapa lama semua anak berkumpul kecuali satu, anak ke-lima yang malam sebelumnya mohon izin kepada Sudijah untuk pergi menjalankan tugas di luar kota. Tak berapa lama, perawat kemudian meminta salah satu anak untuk mendoakan Sudijah. Anak ke-tiga langsung berdoa di telinga Sudijah. Membisikan nama Tuhannya.
Kepergian Sudijah yang tiba-tiba sangat mengejutkan bagi setiap orang yang mendengarnya. Siang hari pada 24 Februari itu, Sudijah masih bercerita dan berkata bahwa ia dapat tidur nyenyak. Namun pada sore hari, kondisi Sudijah langsung menurun. Sudijah mulai mengalami halusinasi bahwa ia seperti mendengar suara kakak pertamanya. Anak Sudijah kemudian menelponkan Sang kakak agar dapat mengunjungi adiknya. Sudijah masih sempat minta duduk, berbicara dan menangis ketika Sang kakak datang. Sudijah bahkan berjanji akan sesegera mungkin menemui kakaknya jika sudah sembuh. Tak lama setelah Sang kakan pulang (pukul 20.30), Sudijah semakin tidak sabar untuk pulang, ia sangat ingin pulang ke rumah tercintanya. Anak Sudijah meminta pendapat perawat mengenai permintaan ibunya. Kata perawat dokter mengijinkan. Sudijah mulai tidak sabar untuk pulang. Kemusia, segala masalah administrasi langsung ditangani oleh anak ke-empat Sudijah, sedangkan anak ke-dua dan ke-tiganya langsung pergi menuju rumah, untuk menyiapkan keperluan perawatan Sudijah di rumah nanti. Sudijah di Rumah Sakit ditemani oleh anak pertama, ke-enam dan ke-tujuhnya. Sudijah meminta anak laki-lakinya (anak ke-tujuh untuk mendudukkannya). Sudijah hanya sempat menyebutkan nama anak ke-tujuhnya itu, “Sap..” anak ke-tujuh dank e-enam pun kemudian berusaha aga Sudijah tetap sadar, pipi keriput Sudijah ditepuk-tepuk agar Sudijah tidak tertidur. Namun tampaknya waktu Sudijah sudah tiba. Serta-merta kedua mata Sudijah melihat kea rah atas, tangannya bergetar dan telinga mulai menutup. Anak pertama kemudian memenggil perawat. Seolah-olah tahu apa yang sedang terjadi, perawat yang datang berjumlah dua orang, padahal biasanya, jika ada yang mengebel, hanya satu perawat yang datang. Sudijah langsuung ditidurkan, tubuhnya langsung dipasangi berbagai alat Bantu dan alat pengukur detak jantung. Detak jantung Sudijah masih bagus. Namun begitu, para perawat langsung bergantian untuk memberi bantuan pernafasan dan memompa jangtung Sudijah agar tetap berdetak.
Menyadari apa yang sedang terjadi, anak ke-enam segera menelpon kaka-kakanya (anak ke-dua, ke-tiga, dan ke-empat) agar segera kembali ke kamar ibu mereka. Tak berapa lama semua anak berkumpul kecuali satu, anak ke-lima yang malam sebelumnya mohon izin kepada Sudijah untuk pergi menjalankan tugas di luar kota. Tak berapa lama, perawat kemudian meminta salah satu anak untuk mendoakan Sudijah. Anak ke-tiga langsung berdoa di telinga Sudijah. Membisikan nama Tuhannya.
“Allah.. Allah.. Allah..”
Hanya berselang beberapa menit, setelah anak laki-lakinya (anak ke-dua) menggantikan anak ke-tiga untuk membimbing Sudijah, dan anak ke-tiga yang kemudian membacakan Surat Yasin, Sudijah dengan tubuh yang masih hangat dinyatakan meninggal dunia.
Pada hari itu, Rabu/ 24 Februari 2010 Pukul. 22.18 WIB, Sudijah berpulang.
Ia meninggalkan tujuh anaknya dan17 cucu yang disayangi dengan senyum manis yang meghiasi wajahnya. Tampak tenang, hanya terlihat bahwa ia tertidur nyenyak dengan mimpi indah. Hari itulah, saya kehilangan nenek saya yang selalu menyayangi saya dan cucu-cucunya. Hanya satu pintanya pada saya, agar saya tidak perah lupa mendoakannya.
“Selamat jalan Mbah Putri, InsyaAllah aku akan selalu mendoakanmu”
cerita yang bagus.Lembut tapi tajam.terus berkarya Jeng :D
BalasHapusterima kasih :)
BalasHapus