Bagai siang
hari yang terik kemudian bertemu dengan rintik hujan, dihidangkan warna-warni pelangi
sebagai pelengkap menu santapan. Hari itu, 17 Januari 2012, saya mendapatkan
izin untuk pergi ke Negeri Sungai Gangga, India. Saya dapat menemuinya. Riang
gembira, hembusan napas mengeluarkan gula-gula kapas yang wangi dan
berseri-seri. Bintang-bintang menari di dalam hati. Senang sekali rasanya, saya
akan dapat menemui kekasih hati yang sudah enam kali purnama hanya dapat
disentuh saat mata tertutupi mimpi. Saya ke India, menemuinya.
Maju mundur
jadwal keberangkatan, masa pembuatan passport yang secara ajaib dapat
diselesaikan dalam semalam, pro dan kontra dari keluarga besar yang membuahkan
aliran air mata dan kemarahan, masa packing yang membingungkan dan pergulatan
dengan kenyataan meninggalkan zona nyaman, semua terlewati. Diputuskan, 24
Januari 2012 saya akan mendarat di India.
Perjalanan
menuju India tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berburu tiket kereta api
untuk tanggal 22 Januari 2012 yang notabene merupakan long weekend merupakan
cerita menegangkan tersendiri. Nyaris tidak ada lagi tiket menuju Jakarta, tetapi
takdir dan kemudahan dari Allah, Tuhan semesta alam raya belum berhenti, pukul
17.00, tanggal 20 Januari, tiket kereta eksekutif Argo Dwipangga tambahan
berhasil digenggam. Selanjutnya, tugas saya yang tersisa adalah menata
keberanian hati untuk bepergian sendiri.
Tanggal 22
Januari 2012, pkl. 22.50, Stasiun Tugu. Kereta melaju membawa saya menuju
stasiun Gambir yang berada di Ibu kota. Di ibu kota saya menginap di rumah
seorang kerabat dari tanggal 23 januari pagi hari hingga tanggal 24 Januari
2012. Pukul 08.00, di dalam DAMRI menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
terminal 3, saya memantapkan hati sekali lagi. Ini kali pertama saya bepergian
dengan pesawat seorang diri, ke luar negeri. Bismillahirrahmanirrahiim,
seketika saya yakin bahwa saya tidak sendiri. Allah berada sangat dekat dengan
saya , menjaga saya dan senantiasa melindungi saya.
Melalui proses
check-in, proses pengurusan visa, makan pagi agak kesiangan sendirian, akhirnya
saya “FIX” berangkat ke India. Perjalanan menuju India memakan waktu yang cukup
lama. 2 jam perjalanan udara ke Bandara Internasional Kuala Lumpur, transit
selama kurang lebih 2,5 jam di bandara yang berisi banyak orang India dan orang
China, lalu melanjutkan penerbangan ke
New Delhi, India selama kurang lebih 5,5 jam.
Melintasi
beberapa negara dan perbedaan zona waktu, saya tiba di Indira Gandhi
International Airport, New Delhi, India. Saya mendarat pkl. 20.10 waktu
setempat, masih di hari yang sama, hari ke-24 di bulan Januari.
Membereskan
urusan Visa On Arrival, mengambil barang-barang kemudian mengalami keterkejutan
perubahan lingkungan yang dialami kurang dari 24 jam membuat saya kehilangan
kemampuan berkata-kata dan berpikir rumit. Saya tidak tahu apa yang orang-orang
India itu bicarakan.
Saya sempat
dimarahi petugas bandara karena saya tidak memperhatikan adanya antrian dan
berjalan begitu saja. Ini adalah mekanisme pertahanan diri, saat itu saya
sedang mengalami dislokasi dan kesulitan
dalam pemetaan ruang sehingga saya meminta tolong kepada seorang supervisor
keamanan untuk menunjukkan kepada saya di mana tempat mengambil barang, saya
berjalan tanpa memerhatikan kondisi sekitar. Haha! Bodohnya! Setelah meminta
maaf, saya segera melanjutkan perjalanan, mengikuti arah jalan dari punggung
Tuan Supervisor Keamanan Bandara.
Tadaaaa...!
Sampailah saya pada tempat pengambilan barang. Barang-barang saya tampak bosan.
Saya rasa barang-barang saya sudah berputar berkali-kali di atas roda-roda
berjalan menanti untuk segera ditemukan.
Oya, selama
perjalanan dari pesawat (setelah mendarat) ke tempat pengambilan barang-barang,
saya bertemu dengan orang-orang Indonesia. Serombongan laki-laki dari usia muda
hingga paruh baya dan dua orang dewasa yang saya jumpai di bagian imigrasi
bagian urusan visa on arrival. Rasanya lega melihat ada orang satu bangsa di
suatu negara asing. Sedikit berbincang. Rombongan laki-laki dengan rentang usia
bervariasi yang mengenakan pakaian yang mencirikan suatu agama tertentu itu
datang ke India untuk belajar ilmu agama, sedangkan dua laki-laki dewasa yang
berasal dari Semarang dan Bali itu datang ke India untuk menghadiri acara
pameran kesenian di New Delhi.
Setelah satu
jam yang panjang dari prosesi pendaratan pesawat hingga pengambilan
barang-barang, saya akhirnya bisa bernafas sedikit lega. Masih ada sisa helaan
napas yang tersumbat di kerongkongan, kekhawatiran mencari Gate 5. Berjalan
tidak sabar saya mengikuti arah berjalan serombongan orang. Mereka menuju Gate
6. Saya layangkan pandang ke arah kanan, Gate 5!
Bagaikan
gerbang surga yang dikhususkan untuk jalan saya, Gate 5 yang dijaga dua orang
berseragam polisi, tersenyum penuh makna. Seketika kepercayaan diri saya
meningkat, keyakinan saya melampaui batas, hati saya memberi tahu otak saya
bahwa seorang laki-laki sudah menanti tidak sabar di balik kaca Gate 5. Dia,
kekasih hati saya.
Saya dorong
trolli barang bawaan saya dengan tergesa-gesa. Sedikit bingung saat
memilah-milah wajah para penjemput yang seluruh pandangannya tertuju pada saya.
Pintu kaca terbuka secara otomatis dan BING BANG! Di sana lah dia berdiri.
Tersenyum lebar penuh arti. Dialah sang kekasih hati.
Rasa-rasanya
tidak percaya, saya berjalan canggung karena hati dipenuhi kebingungan untuk
menunjukkan emosi. Emosi manakah yang tepat untuk saya tunjukkan padanya?
Senang yang meluap-luap, rasa haru, rasa lega, rasa tidak percaya atau rasa
yang mana? Tanpa saya sempat memutuskan emosi mana yang akan saya sajikan, saya
sudah berjalan ke arahnya, tanpa sadar saya tersenyum lebar sambil
memandanginya. Dia, di depan saya.
Saya lupa bahwa
saya berada di sebuah negara asing hingga akhirnya sapuan angin dingin menerpa
tubuh saya yang sudah saya balut dengan 2 jaket yang saya rasa cukup tebal.
Bergidik, dia menyadarinya. Diberikannya sepasang sarung tangan bewarna cokelat
untuk menghangatkan tangan saya. Masih tersenyum, kami berjalan dengan
pandangan yang sama, pandangan tidak percaya. Takjub. Kami sama-sama tidak
menyangka akan bertemu di saat itu, di negara ini. Negara ajaib yang sebagian
wilayahnya beiklim sub tropis, sebagian lainnya beriklim tropis dan sebagian
lagi memiliki iklim di antara keduanya.
Enam bulan lamanya tidak bertemu tatap muka
secara langsung membuat saya sedikit terpaku, mengamati seberapa banyak
perubahan yang terjadi pada dirinya. Rambutnya lebih panjang dari yang saya
duga, wajahnya lebih kurus daripada saat saya pandangi melalui layar, dan
tentunya tangannya yang dingin karena dia telah menunggu kedatangan saya selama
satu jam lamanya di ruang terbuka di depan pintu-pintu bandara. Bahagia.
Saya rasa,
wajah saya saat itu berbinar lebih terang daripada lampu-lampu yang ada di
bandara. Begitu juga dia. Pancaran rasa bahagia menghangatkan tubuh kami yang
diterpa angin dingin bersuhu +/- 5 derajat Celcius. Cinta, cinta memang
menembus batas, bahkan suhu udara.
Berbincang
mengenai bagaimana perjalanan saya, kami bergandengan tangan sambil berjalan
menemui seorang kawan berdarah India yang menemaninya menjemput saya. Tidak
belama-lama di depan bandara, setelah mengambil beberapa foto berdua, kami
mencari sebuah taksi. Rs 400,- adalah harga yang diminta pengemudinya, sekitar
Rp 80.000,- dalam kurs rupiah. Taksi yang dipilihnya adalah taksi asli India
yang pernah saya lihat di Film “Eat Pray Love” yang ditumpangi Liz saat menuju
Ashram di India. Tidak berbeda dengan gambaran film itu, taksi itu mulai
berjalan menembus jalan raya yang dipenuhi suara klakson segala jenis kendaraan
yang mulai menyapa indra pendengaran saya. Memasuki jalan di kota, saya mulai
melihat sapi-sapi beraneka ukuran berjalan melenggang dengan santai di antara
hiruk pikuk kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Anjing-anjing juga tidak
kalah bergaya, berlari di sepanjang jalan dan beberapa dari mereka
tidur-tiduran di tepi jalan, mungkin kelelahan. Sampah dan debu tampak
berkeliaran dengan bebas, membuat saya menutup hidung dengan syall yang saya
gunakan, saya takut organ penciuman saya terkena serangan udara kotor yang
terlalu mengejutkan. Ini lah, India. Saya akhirnya menjejakkan kaki di negeri
asing di mana manusia, kendaraan, hewan dan tumbuhan membentuk suatu harmoni
tersendiri.
Pada akhirnya,
sampailah kami di tempat saya akan tinggal. Sebuah gedung di kompleks
pertokoan. Duduk-duduk sebentar dan memutuskan bahwa kami akan mengakhiri hari
ke-24 dan menyambut hari ke-25 di bulan Januari dengan bersantap malam
bertiga, makanan pesan antar sebuah restaurant bergambar seorang kakek tua
mirip Santa Claus mengisi perut-perut kosong yang merindukan hangatnya asupan
energi. Setelah makan, rasa tidak percaya yang masih kami alami dipuaskan
dengan perbincangan ringan hingga pkl. 03.00, berdua. Maih kurang rasanya,
tetapi kami terpaksa segera tidur karena pada pkl. 07.00 akan datang sebuah
mobil sewaan yang akan membawa kami ke Taj Mahal, Agra, India.
Saya, dia, dan
India. Sebuah pengalaman yang tidak akan saya lupakan.
(Indira Gandhi International Airport, New Delhi, India)