"Roda kehidupan selalu berputar", begitu kata orang. Tidak hanya roda kehidupan, aku adalah roda sepeda yang juga selalu berputar. Bersama dengan rekanku, aku membantu pemilik sepeda untuk bergerak di atas sepedanya dengan rasa gembira. Sesekali jalanan terjal, sesekali bergelombang, tak dapat diprediksikan. Siapa yang mampu memprediksikan kondisi jalanan? Tidak ada, semua rahasia Tuhan.
Satu masa, aku berpisah dengan rekan pertamaku, kemudian bertemu dengan rekan kerja yang kedua, dan yang ketiga. Kami lah sepasang roda yang membantu jalannya sebuah sepeda. Pergantian rekanan terkadang menjadi hal yang biasa meski perpisahan kerap menggoreskan luka.
Suatu ketika saat aku bersama partner rodaku yang lama, sepeda kami bertemu dengan sepeda lainnya. Kami berjumpa dengan roda-roda lainnya. Tahu, hanya sekedar tahu. Roda itu bersama roda ini bekerja sama dalam satu waktu. Tak disangka, ketika roda ketiga yang menjadi pasanganku dipindahkan, aku sendirian. Sepedaku tak lagi berjalan di jalan raya. Belum ada roda pengganti yang dipasangkan denganku untuk bekerja sama. Lama tak terkira. Beberapa kali pemilik sepeda berusaha menghadirkan roda-roda lainnya, tidak sesuai rupanya. Hingga datang sebuah roda yang pernah kukenal. Roda yang saat itu aku berpapasan dengannya.
Roda itu, ternyata dia akhirnya yang dipasangkan denganku. Malu-malu, kami mulai berkompromi tentang cara kami berputar. Agar seirama, agar membentuk harmoni roda sepeda yang mempesona.
Sesekali waktu saat kami berputar bersama di jalan raya, kami temui mereka, roda-roda lama yang pernah menjadi rekan kami di bawah sebuah sepeda. Cemburu! Itu namanya. Kulihat bayang masa lalu roda yang kini menjadi rekanku berusaha bersama dengan roda ini dan roda itu melintasi jalan raya. Sakit. Angin di rodaku berkurang. Aku merasa lelah. Pemilik sepedaku menyadarinya dan segera memompa.
Saat aku di pompa, pemilikku sering berkata, "Tegar, kuat, dan sabar rodaku. Jangan beratkan laju sepeda ini karena sakitmu. Bekerja samalah dengan baik dengan roda yang satu. Tak lihat kah engkau? Saat kau tak berjalan dengan kondisi prima, begitu juga dia. Berat baginya berjuang sendirian. Berat baginya menanggung beban sepeda ini, berat lagi karena dia harus menarikmu untuk sampai ke tempat memompa sepeda. Kuat lah rodaku, jaga hatimu". Pemilik sepeda tahu, aku cemburu. Malu.
Kubuka mataku, kulihat rekan rodaku di depanku. Dia adalah roda depan sepeda ini, memandangku dengan tatapan emas, khawatir aku mengalami luka parah sehingga harus diganti dengan roda yang lainnya. Sekilas adegan lama. Kuingat saat kami melintasi jalan bersama, bahagia. Kami tertawa sambil berputar, mengikuti ke arah mana sepeda berjalan. Menikmati semilir angin yang sama, menikmati percikan air di genangan. Cih! Aku merepotkannya, dia yang berarti bagiku. Jalan lama telah terganti dengan yang baru, tak ada waktu untuk cemburu. Roda kehidupan berputar bersama kami, menantang kami untuk berani berlaga menopang sepeda ini. Hari ini hingga nanti.
Satu masa, aku berpisah dengan rekan pertamaku, kemudian bertemu dengan rekan kerja yang kedua, dan yang ketiga. Kami lah sepasang roda yang membantu jalannya sebuah sepeda. Pergantian rekanan terkadang menjadi hal yang biasa meski perpisahan kerap menggoreskan luka.
Suatu ketika saat aku bersama partner rodaku yang lama, sepeda kami bertemu dengan sepeda lainnya. Kami berjumpa dengan roda-roda lainnya. Tahu, hanya sekedar tahu. Roda itu bersama roda ini bekerja sama dalam satu waktu. Tak disangka, ketika roda ketiga yang menjadi pasanganku dipindahkan, aku sendirian. Sepedaku tak lagi berjalan di jalan raya. Belum ada roda pengganti yang dipasangkan denganku untuk bekerja sama. Lama tak terkira. Beberapa kali pemilik sepeda berusaha menghadirkan roda-roda lainnya, tidak sesuai rupanya. Hingga datang sebuah roda yang pernah kukenal. Roda yang saat itu aku berpapasan dengannya.
Roda itu, ternyata dia akhirnya yang dipasangkan denganku. Malu-malu, kami mulai berkompromi tentang cara kami berputar. Agar seirama, agar membentuk harmoni roda sepeda yang mempesona.
Sesekali waktu saat kami berputar bersama di jalan raya, kami temui mereka, roda-roda lama yang pernah menjadi rekan kami di bawah sebuah sepeda. Cemburu! Itu namanya. Kulihat bayang masa lalu roda yang kini menjadi rekanku berusaha bersama dengan roda ini dan roda itu melintasi jalan raya. Sakit. Angin di rodaku berkurang. Aku merasa lelah. Pemilik sepedaku menyadarinya dan segera memompa.
Saat aku di pompa, pemilikku sering berkata, "Tegar, kuat, dan sabar rodaku. Jangan beratkan laju sepeda ini karena sakitmu. Bekerja samalah dengan baik dengan roda yang satu. Tak lihat kah engkau? Saat kau tak berjalan dengan kondisi prima, begitu juga dia. Berat baginya berjuang sendirian. Berat baginya menanggung beban sepeda ini, berat lagi karena dia harus menarikmu untuk sampai ke tempat memompa sepeda. Kuat lah rodaku, jaga hatimu". Pemilik sepeda tahu, aku cemburu. Malu.
Kubuka mataku, kulihat rekan rodaku di depanku. Dia adalah roda depan sepeda ini, memandangku dengan tatapan emas, khawatir aku mengalami luka parah sehingga harus diganti dengan roda yang lainnya. Sekilas adegan lama. Kuingat saat kami melintasi jalan bersama, bahagia. Kami tertawa sambil berputar, mengikuti ke arah mana sepeda berjalan. Menikmati semilir angin yang sama, menikmati percikan air di genangan. Cih! Aku merepotkannya, dia yang berarti bagiku. Jalan lama telah terganti dengan yang baru, tak ada waktu untuk cemburu. Roda kehidupan berputar bersama kami, menantang kami untuk berani berlaga menopang sepeda ini. Hari ini hingga nanti.