Senin, 06 Februari 2012

India: Awal dari 10 Hari Yang Mengagumkan



Bagai siang hari yang terik kemudian bertemu dengan rintik hujan, dihidangkan warna-warni pelangi sebagai pelengkap menu santapan. Hari itu, 17 Januari 2012, saya mendapatkan izin untuk pergi ke Negeri Sungai Gangga, India. Saya dapat menemuinya. Riang gembira, hembusan napas mengeluarkan gula-gula kapas yang wangi dan berseri-seri. Bintang-bintang menari di dalam hati. Senang sekali rasanya, saya akan dapat menemui kekasih hati yang sudah enam kali purnama hanya dapat disentuh saat mata tertutupi mimpi. Saya ke India, menemuinya.
Maju mundur jadwal keberangkatan, masa pembuatan passport yang secara ajaib dapat diselesaikan dalam semalam, pro dan kontra dari keluarga besar yang membuahkan aliran air mata dan kemarahan, masa packing yang membingungkan dan pergulatan dengan kenyataan meninggalkan zona nyaman, semua terlewati. Diputuskan, 24 Januari 2012 saya akan mendarat di India.
Perjalanan menuju India tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berburu tiket kereta api untuk tanggal 22 Januari 2012 yang notabene merupakan long weekend merupakan cerita menegangkan tersendiri. Nyaris tidak ada lagi tiket menuju Jakarta, tetapi takdir dan kemudahan dari Allah, Tuhan semesta alam raya belum berhenti, pukul 17.00, tanggal 20 Januari, tiket kereta eksekutif Argo Dwipangga tambahan berhasil digenggam. Selanjutnya, tugas saya yang tersisa adalah menata keberanian hati untuk bepergian sendiri.
Tanggal 22 Januari 2012, pkl. 22.50, Stasiun Tugu. Kereta melaju membawa saya menuju stasiun Gambir yang berada di Ibu kota. Di ibu kota saya menginap di rumah seorang kerabat dari tanggal 23 januari pagi hari hingga tanggal 24 Januari 2012. Pukul 08.00, di dalam DAMRI menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, terminal 3, saya memantapkan hati sekali lagi. Ini kali pertama saya bepergian dengan pesawat seorang diri, ke luar negeri. Bismillahirrahmanirrahiim, seketika saya yakin bahwa saya tidak sendiri. Allah berada sangat dekat dengan saya , menjaga saya dan senantiasa melindungi saya.
Melalui proses check-in, proses pengurusan visa, makan pagi agak kesiangan sendirian, akhirnya saya “FIX” berangkat ke India. Perjalanan menuju India memakan waktu yang cukup lama. 2 jam perjalanan udara ke Bandara Internasional Kuala Lumpur, transit selama kurang lebih 2,5 jam di bandara yang berisi banyak orang India dan orang China,  lalu melanjutkan penerbangan ke New Delhi, India selama kurang lebih 5,5 jam.
Melintasi beberapa negara dan perbedaan zona waktu, saya tiba di Indira Gandhi International Airport, New Delhi, India. Saya mendarat pkl. 20.10 waktu setempat, masih di hari yang sama, hari ke-24 di bulan Januari.
Membereskan urusan Visa On Arrival, mengambil barang-barang kemudian mengalami keterkejutan perubahan lingkungan yang dialami kurang dari 24 jam membuat saya kehilangan kemampuan berkata-kata dan berpikir rumit. Saya tidak tahu apa yang orang-orang India itu bicarakan.
Saya sempat dimarahi petugas bandara karena saya tidak memperhatikan adanya antrian dan berjalan begitu saja. Ini adalah mekanisme pertahanan diri, saat itu saya sedang  mengalami dislokasi dan kesulitan dalam pemetaan ruang sehingga saya meminta tolong kepada seorang supervisor keamanan untuk menunjukkan kepada saya di mana tempat mengambil barang, saya berjalan tanpa memerhatikan kondisi sekitar. Haha! Bodohnya! Setelah meminta maaf, saya segera melanjutkan perjalanan, mengikuti arah jalan dari punggung Tuan Supervisor Keamanan Bandara.
Tadaaaa...! Sampailah saya pada tempat pengambilan barang. Barang-barang saya tampak bosan. Saya rasa barang-barang saya sudah berputar berkali-kali di atas roda-roda berjalan menanti untuk segera ditemukan.
Oya, selama perjalanan dari pesawat (setelah mendarat) ke tempat pengambilan barang-barang, saya bertemu dengan orang-orang Indonesia. Serombongan laki-laki dari usia muda hingga paruh baya dan dua orang dewasa yang saya jumpai di bagian imigrasi bagian urusan visa on arrival. Rasanya lega melihat ada orang satu bangsa di suatu negara asing. Sedikit berbincang. Rombongan laki-laki dengan rentang usia bervariasi yang mengenakan pakaian yang mencirikan suatu agama tertentu itu datang ke India untuk belajar ilmu agama, sedangkan dua laki-laki dewasa yang berasal dari Semarang dan Bali itu datang ke India untuk menghadiri acara pameran kesenian di New Delhi.
Setelah satu jam yang panjang dari prosesi pendaratan pesawat hingga pengambilan barang-barang, saya akhirnya bisa bernafas sedikit lega. Masih ada sisa helaan napas yang tersumbat di kerongkongan, kekhawatiran mencari Gate 5. Berjalan tidak sabar saya mengikuti arah berjalan serombongan orang. Mereka menuju Gate 6. Saya layangkan pandang ke arah kanan, Gate 5!
Bagaikan gerbang surga yang dikhususkan untuk jalan saya, Gate 5 yang dijaga dua orang berseragam polisi, tersenyum penuh makna. Seketika kepercayaan diri saya meningkat, keyakinan saya melampaui batas, hati saya memberi tahu otak saya bahwa seorang laki-laki sudah menanti tidak sabar di balik kaca Gate 5. Dia, kekasih hati saya.
Saya dorong trolli barang bawaan saya dengan tergesa-gesa. Sedikit bingung saat memilah-milah wajah para penjemput yang seluruh pandangannya tertuju pada saya. Pintu kaca terbuka secara otomatis dan BING BANG! Di sana lah dia berdiri. Tersenyum lebar penuh arti. Dialah sang kekasih hati.
Rasa-rasanya tidak percaya, saya berjalan canggung karena hati dipenuhi kebingungan untuk menunjukkan emosi. Emosi manakah yang tepat untuk saya tunjukkan padanya? Senang yang meluap-luap, rasa haru, rasa lega, rasa tidak percaya atau rasa yang mana? Tanpa saya sempat memutuskan emosi mana yang akan saya sajikan, saya sudah berjalan ke arahnya, tanpa sadar saya tersenyum lebar sambil memandanginya. Dia, di depan saya.
Saya lupa bahwa saya berada di sebuah negara asing hingga akhirnya sapuan angin dingin menerpa tubuh saya yang sudah saya balut dengan 2 jaket yang saya rasa cukup tebal. Bergidik, dia menyadarinya. Diberikannya sepasang sarung tangan bewarna cokelat untuk menghangatkan tangan saya. Masih tersenyum, kami berjalan dengan pandangan yang sama, pandangan tidak percaya. Takjub. Kami sama-sama tidak menyangka akan bertemu di saat itu, di negara ini. Negara ajaib yang sebagian wilayahnya beiklim sub tropis, sebagian lainnya beriklim tropis dan sebagian lagi memiliki iklim di antara keduanya.
 Enam bulan lamanya tidak bertemu tatap muka secara langsung membuat saya sedikit terpaku, mengamati seberapa banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Rambutnya lebih panjang dari yang saya duga, wajahnya lebih kurus daripada saat saya pandangi melalui layar, dan tentunya tangannya yang dingin karena dia telah menunggu kedatangan saya selama satu jam lamanya di ruang terbuka di depan pintu-pintu bandara. Bahagia.
Saya rasa, wajah saya saat itu berbinar lebih terang daripada lampu-lampu yang ada di bandara. Begitu juga dia. Pancaran rasa bahagia menghangatkan tubuh kami yang diterpa angin dingin bersuhu +/- 5 derajat Celcius. Cinta, cinta memang menembus batas, bahkan suhu udara.
Berbincang mengenai bagaimana perjalanan saya, kami bergandengan tangan sambil berjalan menemui seorang kawan berdarah India yang menemaninya menjemput saya. Tidak belama-lama di depan bandara, setelah mengambil beberapa foto berdua, kami mencari sebuah taksi. Rs 400,- adalah harga yang diminta pengemudinya, sekitar Rp 80.000,- dalam kurs rupiah. Taksi yang dipilihnya adalah taksi asli India yang pernah saya lihat di Film “Eat Pray Love” yang ditumpangi Liz saat menuju Ashram di India. Tidak berbeda dengan gambaran film itu, taksi itu mulai berjalan menembus jalan raya yang dipenuhi suara klakson segala jenis kendaraan yang mulai menyapa indra pendengaran saya. Memasuki jalan di kota, saya mulai melihat sapi-sapi beraneka ukuran berjalan melenggang dengan santai di antara hiruk pikuk kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Anjing-anjing juga tidak kalah bergaya, berlari di sepanjang jalan dan beberapa dari mereka tidur-tiduran di tepi jalan, mungkin kelelahan. Sampah dan debu tampak berkeliaran dengan bebas, membuat saya menutup hidung dengan syall yang saya gunakan, saya takut organ penciuman saya terkena serangan udara kotor yang terlalu mengejutkan. Ini lah, India. Saya akhirnya menjejakkan kaki di negeri asing di mana manusia, kendaraan, hewan dan tumbuhan membentuk suatu harmoni tersendiri.
Pada akhirnya, sampailah kami di tempat saya akan tinggal. Sebuah gedung di kompleks pertokoan. Duduk-duduk sebentar dan memutuskan bahwa kami akan mengakhiri hari ke-24 dan menyambut hari ke-25 di bulan Januari dengan bersantap malam bertiga, makanan pesan antar sebuah restaurant bergambar seorang kakek tua mirip Santa Claus mengisi perut-perut kosong yang merindukan hangatnya asupan energi. Setelah makan, rasa tidak percaya yang masih kami alami dipuaskan dengan perbincangan ringan hingga pkl. 03.00, berdua. Maih kurang rasanya, tetapi kami terpaksa segera tidur karena pada pkl. 07.00 akan datang sebuah mobil sewaan yang akan membawa kami ke Taj Mahal, Agra, India.
Saya, dia, dan India. Sebuah pengalaman yang tidak akan saya lupakan.



(Indira Gandhi International Airport, New Delhi, India)